Selasa, 31 Mei 2016

Pembenaran Filosofis Atas Kenabian dan Wahyu “Al-Farabi”



BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang.
Filsafat, terutama Filsafat Islam merupakan salah satu bidang yang menguras energi umat Islam sejak dari awal. Bukan hanya berkait dengan perdebatan konseptual (akademik), melainkan juga berkaitan dengan wilayah nonakademik. Di satu sisi filsafat diyakini akan mampu mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan, pencerah akal budi, di sisi lain filsafat dianggap sebagai biang kerok pemecah belah umat. “Klaim kebenaran” semakin menyulitkan sekaligus merumitkan upaya dialog dan negosiasi dari kedua kutub yang berlawanan tersebut.
Sekalipun nama Aristoteles sering disebut-sebut oleh para filsuf muslim, namun kenyataannya bukan Aristoteles yang paling berpengaruh dalam bangunan filsafat Islam. Tidak banyak yang seperti diduga, justru doktrin yang sangat mempengaruhi perjalanan filsafat Islam adalah doktrin yang bertentangan dengan Aristoteles.
Dari sini lalu muncullah nama-nama filsuf Islam yang kontribusinya sangat menentukan peradaban, tidak hanya peradaban Islam tetapi juga dunia. Tercatat dari rahim Islam nama-nama filsuf yang sangat mempengaruhi dunia, seperti Ibnu Sina, al-Farabi, ar-Razi, dan Ibnu Rusyd.
Namun didalam makalah ini hanya menekankan salah satu tokoh filsuf yang sangat mempengaruhi dunia tersebut di atas, yakni al-Farabi. Dengan pemikiran dan konsepnya “emanasi” yang cukup terkenal.
B.            Rumusan Masalah.
1.             Bagaimana dengan biografi dari al-Farabi ?
2.             Bagaimana dengan pemikiran-pemikiran al-Farabi dan yang melatar belakanginya?
C.           Tujuan Pembahasan.
1.             Untuk mengenal lebih jauh tentang kehidupan tokoh.
2.             Untuk mengetahui pemikiran tokoh, sehingga dapat mengkontruksikan dalam kehidupan sekarang.

BAB II
PEMBAHASAN
A.          Biografi al-Farabi.
Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Auzalagh al-Farabi atau yang lebih sering dikenal dengan al-Farabi lahir di Wasij, sebuah dusun kecil di kota Farab, Provinsi Transoxiana, Turkestan, sekitar tahun 870 M.[1]
Sebutan al-Farabi diambil dari nama kota Farab, dimana ia di lahirkan. Ayahnya adalah seorang Iran dan menikah dengan seorang gadis Turkestan. Karena itu, al-Farabi dikatakan berasal dari keturunan Turkestan dan kadang-kadang juga dikatakan dari keturunan Iran.[2]
Sejak kecil, al-Farabi suka belajar dan ia mempunyai kecakapan luar biasa dalam lapangan bahasa. Bahasa-bahasa yang dikuasainya antara lain ialah bahasa-bahasa Iran, Turkestan, dan Kurdistan.[3] Namun ternyata untuk bahasa Yunani dan bahasa Suryani sebagai bahasa ilmu pengetahuan pada waktu itu, al-Farabi belum bisa menguasai.[4]
Untuk memulai karir dalam pengetahuannya, ia hijrah dari negerinya ke kota Baghdad, yang pada waktu itu disebut sebagai kota ilmu pengetahuan. Dia belajar disana selama kurang lebih dua puluh tahun. Ia betul-betul memanfaatkan untuk menimba ilmu pengetahuan kepada : Ibnu Suraj untuk belajar tata bahasa Arab, Abu Bisyr Matta Ibn Yunus untuk belajar ilmu mantiq (logika).[5]
Sesudah itu ia pindah ke Harran salah satu pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil untuk berguru kepada Yuhanna bin Jilan. Tapi tidak lama kemudian ia meninggalkan kota itu untuk kembali ke Baghdad dan untuk mendalami filsafat sesudah ia menguasai ilmu mantiq (logika), dan di Baghdad ia berdiam selama 30 tahun. Selama waktu itu, ia memakai waktunya untuk mengarang, memberikan pelajaran dan mengulas buku-buku filsafat. Muridnya yang terkenal pada masa ini antara lain ialah Yahya bin Ady.[6]
Dalam perjalanan hidupnya, al-Farabi pernah menjadi hakim, beliau juga seorang tabib yang kenamaan, seorang ahli ilmu pasti dan seorang filsuf yang ulung. Beliau juga banyak mengarang buku, sebagian besar karangan-karangan al-Farabi terdiri dari ulasan dan penjelasaan terhadap filsafat Aristoteles, Plato, dan Galenus, dalam bidang-bidang logika, fisika, dan metafisika. Walaupun banyak tokoh filsafat yang diulas fikirannya, namun ia lebih terkenal sebagai pengulas Aristoteles.[7]
Beliau mempunyai keyakinan, bahwa filsafat tidak boleh dibocorkan dan sampai ke tangan orang awam. Oleh karena itu, para filosof-filosof harus menuliskan pendapat-pendapat atau filsafat mereka dalam gaya bahasa yang samar, agar jangan yang dapat diketahui oleh sembarang orang. Dengan demikian iman serta keyakinannya tidak menjadi kacau. Dan malahan beliau juga berkeyakinan, bahwa agama dan filsafat tidak bertentangan, malahan sama-sama membawa kepada kebenaran.[8]
Pada akhir tahun 942 M, beliau pindah ke Damaskus karena situasi politik Baghdad yang memburuk. Beliau sempat tinggal di sana selama dua tahun, dimana waktu siang hari digunakan untuk bekerja sebagai penjaga kebun dan malam harinya digunakan untuk membaca dan menulis karya-karya filsafat.
Dengan alasan yang sama, ia pindah ke Mesir untuk pada akhirnya kembali lagi ke Damaskus pada tahun 949 M. Selama masa tinggal di Damaskus yang kedua ini, al-Farabi mendapat perlindungan dari putra mahkota penguasa baru Siria, Saif ad-Daulah (w. 967 M). Kehidupansufi asketik yang dijalaninya membuatnya ia tetap berkehidupan sederhana dengan pikiran dan waktu yang tetap tercurah untuk karir filsafatnya. Akhirnya, pada bulan Desember tahun 950 M, beliau meninggal dunia di Damaskus pada usia ke delapan puluh tahun.[9]
B.           Pemikiran-Pemikiran al-Farabi dan Yang Melatar Belakanginya.
Banyak teori-teori dan pemikiran-pemikiran al-Farabi yang masih sangat terkenal. Hingga sekarangpun dibeberapa sekolah atau universitas di dunia ini masih mengupas mengenai pemikiran-pemikiran beliau. Pemikiran-pemikiran beliau yang masih sering dipelajari hingga sekarang, yakni :pemikiran-pemikiran mengenai filsafat, Filsafat Kenabian (berbicara mengenai keraguan dan pengingkaran soal kenabian di dalam Islam), pemikirannya tentang adanya Tuhan dan sifat-sifat-Nya,  teori politik al-Farabi, dan yang paling terkenal akan teorinya mengenai Teori Emanasi (Al-Faidl).
1.         Filsafat al-Farabi.
Masalah kefilsafatan sebenarnya telah dibahas dan dicarikan pemecahannya sejak manusia mampu menggunakan akal pikirannya. Di antara persoalan-persoalan filsafat yaitu masalah Ketuhanan yang termasuk dalam pembahasan metafisika.
Hal ini telah banyak dibahas oleh para pemikir Yunani kuno yang pada mulanya mencari arkhe dari segala sesuatu yang selalu dipertanyakan oleh mereka. Ternyata beberapa pemikir berpandangan materialik seperti dikatakan Thales bahwa arkhe (asas atau prinsip) itu adalah air. Anaximenes berkata, prinsip yang merupakan asal usul segala sesuatu itu udara, dan konsepsi Ketuhanan menurut Anaximandros telah dirumuskan secara substil (bersifat gaib) dan spekulatif, sebab bagi Anaximandros arkhe dari segala sesuatu adalah apeiron (yang terbatas), sebab bersifat ilahi, abadi, tak terubahkan dan meliputi segala sesuatu.[10]
Al-Farabi mendefinisikan filsafat adalah: Al Ilmu bilmaujudaat bima Hiya Al Maujudaat, yang berarti suatu ilmu yang menyelidiki hakikat sebenarnya dari segala yang ada ini. Al-Farabi berhasil meletakkan dasar-dasar filsafat ke dalam ajaran Islam. Dia juga berpendapat bahwa tidak ada pertentangan antara filsafat Plato dan Aristoteles, sebab kelihatan berlainan pemikirannya tetapi hakikatnya mereka bersatu dalam tujuannya.[11]
Secara garis besar, dari pemaparan diatas dapat kita fahami, bahwasanya filsafat al-Farabi adalah perpaduan antara filsafat Aristoteles dan filsafat Plato.
Namun dalam masalah alam, al-Farabi sependapat dengan pemikiran Plato tentang alam itu baru, yang terjadi dari tidak ada (sama dengan pendapat al-Kindi). Ide Plato tentang alam mirip dengan suatu pengertian alam akhirat pada dunia Islam.
Persoalan tentang terjadinya alam serta bagaimana hubungan pencipta (Khaliq) dengan makhluk-Nya, al-Farabi setuju atas teori emanasi Neo Platonisme (yang akan dibahas selanjutnya), lebih jauh al-Farabi merinci lagi teori emanasi dengan istilah Nadhariyatul Faidl, dengan pemikiran dan uraiannya sendiri. Pola pikir pada bidang mantiq dan fisika, al-Farabi sependapat dengan Aristoteles, dalam bidang etika dan politik, ia sependapat dengan Plato dan persoalan metafisika ia sependapat dengan Plotinus.[12]
Al-Farabi sangat menyayangkan terjadinya aliran-aliran filsafat, meskipun tujuannya sama, yaitu mencapai kebenaran yang esa, sebagaimana halnya dengan aliran-aliran politik yang bermacam-macam coraknya, tetapi tujuannya sama.[13]
2.         Filsafat Kenabian.
Di beberapa buku yang membahas tentang Filsafat Islam sering dikatakan mengenai Akal Kesepuluh. Akal Kesepuluh itu dapat disamakan dengan malaikat dalam faham Islam. Para filosof dapat mengetahui mengetahui hakikat-hakikat karena dapat berkomunikasi dengan Akal Kesepuluh.
Demikian pula Nabi dan Rasul dapat menerima wahyu, karena mempunyai kesanggupan untuk mengadakan komunikasi dengan Akal Kesepuluh. Tetapi kedudukan Nabi dan Rasul lebih tinggi dari pada filosof. Komunikasi yang dilakukan Nabi dan Rasul dengan Akal Kesepuluh, terjadi bukan atas usaha sendiri, tetapi atas pemberian Tuhan. Hal ini berbeda dengan filosof yang dapat mengadakan komunikasi itu atas usaha sendiri, yaitu dengan latihan dan kontemplasi.[14]
Sebelum melanjutkan pembahasan, perlu kita ketahui. Bahwa persoalan kenabian ada pada agama. Tetapi agama yang dimaksud adalah agama samawi/langit, di mana secara essensial berasal dari pemberitahuan wahyu dan ilham (inspirasi). Berdasarkan wahyu dan ilhamlah segala kaidah dan sendi-sendinya menjadi tegak. Seorang nabi hanyalah seorang biasa, ia diberi kemampuan untuk berhubungan dengan Allah dan mengekspresikan kehendaknya, sebagai keistimewaannya. Agama Islam adalah agama langit, yang ajarannya berasal dari langit dan sumber utamanya adalah kitab suci dan assunnah. Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat. (Q.S. An-Najm : 3-5)[15]
Dalam ajaran Islam, wahyu merupakan sumber inspirasi yang pasti, yang harus dijadikan pedoman baginya dalam operasionalisasi ajaran. Wahyu mudah dan jelas diterima oleh manusia, pertolongan malaikat Jibril yang dapat mengubah bermacam-macam bentuk.
Pada awal kedatangan Islam, kaum muslimin mempercayai penuh apa yang dating dari Tuhan, tanpa membahas atau mencari-cari alasannya. Keadaan ini tidak lama kemudian dikeruhkan oleh berbagai keraguan, akibatnya golongan-golongan luar Islam dapat memasukkan pikirannya di kalangan kaum muslimin, seperti golongan Mazdak dan Manu dari Iran, golongan Summiyyah. Sejak saat itu, setiap dasar-dasar Agama Islam dibahas dan di kritik. Dalam menghadapi mereka, orang-orang Mu’tazilah telah memberikan bagian yang sukar dicari bandingannya. Dalam hubungan ini, serangan Ibn Ar-Rawandi dan Abu Bakar Ar-Razi terhadap kenabian perlu dicatat.[16]
Persoalan kenabian yang lain adalah bagaimana pengaruh imajinasi terhadap impian dan pembentukannya, sebab apabila soal impian ini bisa ditafsirkan secara ilmiah, maka soal kenabian dan selanjutnya bisa ditafsirkan pula.
Al-Farabi menerangkan bahwa imajinasi jika telah terlepas dari perbuatan-perbuatan diwaktu berjaga, maka disaat sedang tidur ia mempergunakan sebagai fenomena psikologis. Kemudian ia menciptakan ilustrasi-ilustrasi baru atau mengumpulkan ilustrasi-ilustrasi konsepsional yang telah ada sebelumnya dalam berbagai bentuk, dengan cara menirukan dan terpengaruh oleh sebagian penyerapan indrawi dan perasaan jasmaniah atau emosi-emosi psikologis dan persepsi-persepsi rasional.[17]
Dengan demikian, keistimewaan yang utama bagi seorang nabi menurut al-Farabi adalah Ia mempunyai imajinasi yang memungkinkan berhubungan dengan Akal Fa’al, baik diwaktu jaga maupun diwaktu tidur. Dengan imajinasi ini Nabi sampai pada semua persepsi dan realitas yang bisa diraihnya. Yang nampak dalam bentuk wahyu atau impian yang benar, sementara wahyu bukan sesuatu lain kecuali pancaran dari Tuhan melalui Akal Fa’al.
Inilah teori kenabian yang telah dicapai oleh al-Farabi yang dihubungkan dengan soal-soal sosial dan kejiwaan. Maka nabi dan filosof, menurut al-Farabi adalah dua pribadi sholeh yang akan memimpin negeri utama, dimana keduanya dapat berhubungan dengan Akal Fa’al yang menjadi sumber syari’at dan aturan yang diperlukan bagi kehidupan negeri itu. Perbedaan keduanya, apabila nabi meraih hubungan ini melalui imajinasi, sedangkan filosof melalui jalur studi dan analisa atau kajian.
3.         Pemikiran Terhadap Tuhan.
Persoalan-persoalan filsafat telah dibahas oleh filosof sebelumnya, baik dari Yunani, Persia atau yang lainnya, meski pemecahan yang dilakukan mereka saling berlawanan. Al-farabi dalam usaha memecahkan persoalan tersebut tidak terlepas murni dari pembahasan-pembahasan yang dilakukan oleh mereka itu. Di antara persoalan adalah Esa dan berbilang.[18]
Al-Farabi membagi ilmu Ketuhanan menjadi tiga, yaitu :pertama, membahas semua wujud dan hal-hal yang terjadi padanya sebagai wujud. Kedua, membahas prinsip-prinsip burhan dalam ilmu-ilmu teori juz’iyat (paticulars) yaitu ilmu yang berdiri karena penelitiannya tentang wujud tertentu. Seperti ilmu mantiq (logika), matematika, atau ilmu juzz’iyyat lainnya. Ketiga, membahas semua wujud yang tidak berupa benda-benda ataupun berada dalam benda-benda itu.[19]
Sampai sekarang, kajian hakikat Tuhan yang dikemukakan oleh al-Farabi. Ia menyatakan bahwa Allah adalah wujud yang sempurna dan yang ada tanpa suatu sebab, karena apabila ada sebab bagi-Nya berarti Ia tidak sempurna sebab bergantung kepadanya. Ia wujud yang paling dahulu dan paling mulia. Karena itu Tuhan adalah zat yang azali dan selalu ada.
Apabila Tuhan lebih dari satu, maka Tuhan itu ada kalanya sama-sama sempurna wujudnya atau barang kali berbeda dalam sesuatu sifat-sifat tertentu. Demikian pula, karena Tuhan itu tunggal, maka ia tidak dapat diberi batasan (definite), karena batasan berarti penyusunan yaitu dengan memakai spices dan differentia atau dengan memakai matter dan form, seperti halnya dengan jauhar (benda), sedang kesemuannya itu adalah mustahil bagi Tuhan.[20]
Oleh karena itu, Tuhan yang tidak dapat dibatasi ini, tidak akan dapat dicapai oleh manusia yang terbatas ini dengan sempurna. Sebagaimana suatu cahaya yang sangat kuat yang menyilaukan mata, sehingga kita sulit menguraikan sifat-sifat cahaya itu yang sebenarnya.
Menurut al-Farabi, Tuhan adalah wujud yang sempurna, ada tanpa sesuatu sebab, kalau ada sebab bagi-Nya, maka adanya Tuhan tidak sempurna lagi, berarti adanya Tuhan bergantung kepada sebab yang lain.
Karena itu Ia adalah substansi yang azali, yang ada dari semula dan selalu ada. Substansi-Nya itu sendiri telah cukup jadi, sebab bagi keabadian wujud-Nya.[21]
Dalam metafisikanya tentang Ketuhanan, al-Farabi hendak menunjukkan Keesaan Tuhan dan ketunggalan-Nya. Juga dijelaskan pula mengenai kesatuan antara sifat dan dzat (substansi) Tuhan. Sifat Tuhan tidak berbeda dari dzat-Nya, karena Tuhan adalah Tunggal. Tuhan benar-benar akal (pikiran) murni, karena yang menghalang-halangi sesuatu untuk menjadi akal (pikiran) dan berpikir adalah berada maka sesuatu itu berada. Kalau wujud Sesutu tidak membutuhkan benda maka sesutu itu benar-benar akal (pikiran). Demikianlah keadaan Wujud Yang Pertama (Tuhan).[22]
Dalam membuktikan adanya Tuhan, ada beberapa dalil yang dapat digunakan sebagai dalilontologi,dalil teologi dan dalil kosmologi. Para pemikir Yunani menggunakan dalil-dalil tersebut (ontologi, teleologi, dan kosmologi) untuk sampai kepada kesimpulan tentang adanya Tuhan. Hal seperti itu diikuti pula oleh para pemikir Islam. Diantara dalil yang banyak dipakai adalah dalil ciptaan atau dalil kosmologi menurut istilah metafisika.[23]
4.         Teori Politik al-Farabi.
Seperti yang sudah diulas diatas, filsafat kenabian. Filsafat kenabian erat hubungannya dengan teori politik al-Farabi. Al-Farabi mengandaikan kota seperti badan manusia yang mempunyai bagian-bagian tertentu. Antara anggota badan yang satu dengan yang lain memiliki hubungan yang erat dan mempunyai fungsi-fungsi tertentu yang harus dijalankan untuk kepentingan keseluruhan badan.
Dalam kota (masyarakat), kepada masing-masing anggota harus diberikan kerja yang sepadan dengan kesanggupan masing-masing. Pekerjaan yang terpenting dalam masyarakat adalah pekerjaan kepala masyarakat, yang dalam tubuh manusia serupa dengan pekerjaan akal. Kepala merupakan sumber dari segala peraturan dan keharmonisan dalam masyarakat.[24]
Al-Farabi berpendapat, bahwa ilmu politik adalah ilmu yang meneliti berbagai bentuk tindakan, cara, hidup, watak, disposisi positif dan akhlak. Semua tindakan dapat diteliti mengenai tujuannya, dan apa yang membuat manusia dapat melakukan seperti itu, dan bagaimana memelihara tindakan dengan cara yang baik dapat diteliti.[25]
Lebih lanjut al-Farabi berpendapat, bahwa kebahagiaan yang hakiki (sebenarnya) tidak mungkin dapat diperoleh sekarang (di dunia ini), tetapi sesudah kehidupan sekarang yaitu al-akhirat. Namun sekarang ini juga ada kebahagiaan yang nisbi, seperti halnya kehormatan, kekayaan, dan kesenangan yang dapat nampak dan dijadikan pedoman hidup. Kebahagiaan sejati senantiasa dengan suatu tindakan-tindakan yang mulia, kebajikan-kebajikan dan keutamaan-keutamaan. Maka untuk menuju kearah itu terwujud melalui kepemimpinan yang tegak dan benar-benar.
Kepemimpinan tumbuh dari keahlian dan pembawaan manusia. Hal ini dapat mengarahkan manusia dalam menegakkan nilai-nilai utama dan tindakan-tindakan yang bakal memelihara sebagai kemantapan. Keahlian dapat disebut pemerintahan dan raja. Adapun politik adalah bentuk operasional dari keahlian tersebut.[26]
5.         Teori Emanasi (Al-Faidl).
Salah satu problem filsafat adalah masalah ketunggalan dan keragaman. Apakah alam ini tunggal ataukah beraneka? Pertanyaan ini telah menjadi perbincangan filsafat sejak dini. Kaum agamawan cenderung ke arah monoisme (ketunggalan) karena mereka meyakini bahwa dunia ini diciptakan dan dikontrol oleh a single all-powerful mind.[27]
Teori ini membahas tentang keluarnya sesuatu wujud yang mungkin (alam makhluk) dari zat yang mesti adanya, Tuhan (Zat yang wajibul wujud).[28]Emanasi (al-Faidl)menurut al-Farabi adalah semacam teori emanasi yang dikeluarkan oleh Plotinus.[29]
Dengan filsafat emanasi ini al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Satu. Tuhan bersifat Maha Esa, tidak berubah, jauh dari materi, jauh dari arti banyak, Maha sempurna dan tidak berhajat pada apapun. Kalau demikian hakikat Tuhan, bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari Yang Esa? Jadi, menurut al-Farabi alam terjadi dengan caraemanasi.[30]
Al-Farabi memberikan penjelasan tentang emanasi, bahwa segala sesuatu dari Wujud Pertama dalam suatu carayang sangat sistematik. Argumen pokoknya adalah bahwa Yang Pertama karena kelimpahan wujud dan kesempurnaannya mewujudkan seluruh tatanan wujud di alam semesta melalui suatu “keniscayaan alam” yang sama sekali tidak tergantung pada pilihan dan kehendaknya.[31]
Setelah penguraian tentang emanasi diatas, sedikit atau banyak akan timbul pertanyaan, bagaimana terjadinya emanasi tersebut? Seperti halnya dengan Plotinus, al-Farabi mengatakan bahwa Tuhan itu Esa sama sekali. Karena itu, yang keluar dari-Nya juga satu wujud saja, sebab emanasi itu timbul karena pengetahuan (ilmu) Tuhan terhadap zat-Nya yang satu. Kalau apa yang keluar dari zat Tuhan itu berbilang, maka berarti zat Tuhan itupun berbilang pula. Dasar adanya emanasi tersebut adalah karena dalam pemikiran Tuhan dan pemikiran akal-akal terdapat kekuatan emanasi dan penciptaan.[32]
Tuhan sebagai akal, berfikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul suatu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama (al-wujud al-awwal) dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua (al-wujud al-tsani) yang juga mempunyai substansi. Ia disebut sebagai Akal Pertama (al-‘aql al-awwal; First Intelligence) yang tak bersifat materi (jauhar ghair mutajassim asl wa la fi madah). Wujud kedua ini berfikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran ini timbullah wujud ketiga (al-wujud al-tsalis) disebut Akal Kedua (al-‘aql al-tsani, Second Intelligence).
Wujud II atau Akal Pertama itu berfikir juga tentang dirinya dan dari situ timbullah Langit Pertama (al-sama’ al-ula; first heaven).[33]
Atau skema di bawah ini bisa memperjelas tentang proses emanasi ala al-Farabi.[34]
Tuhan
Diri-Nya
=
Wujud II / Akal Pertama.
Wujud II / Akal Pertama
Tuhan
=
Wujud III / Akal Kedua

Diri-Nya
=
Langit Pertama
Wujud III / Akal Kedua
Tuhan
=
Wujud IV / Akal Ketiga

Diri-Nya
=
Bintang-Bintang
Wujud IV / Akal Ketiga
Tuhan
=
Wujud V / Akal Keempat

Dirinya
=
Saturnus
Wujud V / Akal Keempat
Tuhan
=
Wujud VI / Akal Kelima

Dirinya
=
Jupiter
Wujud VI / Akal Kelima
Tuhan
=
Wujud VII / Akal Keenam

Dirinya
=
Mars
Wujud VII / Akal Keenam
Tuhan
=
Wujud VIII / Akal Ketujuh

Dirinya
=
Matahari
Wujud VIII / Akal Ketujuh
Tuhan
=
Wujud IX / Akal Kedelapan

Dirinya
=
Venus
Wujud IX / Akal Kedelapan
Tuhan
=
Wujud X / Akal Kesembilan

Dirinya
=
Markurius
Wujud X / Akal Kesembilan
Tuhan
=
Wujud XI / Akal Kesepuluh

Dirinya
=
Bulan
Wujud XI / Akal Kesepuluh / Akal Aktif.
Sampai Akal Kesepuluh, selesailah proses emanasi akal. Tetapi, dari Akal Kesepuluh ini muncul materi dasar, empat unsur mineral, tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia yang menempati tempat teratas hierarki wujud di bawah bulan.[35]
Pada diskursus lain menyebutkan, bahwa pada pemikiran Wujud XI / Akal Kesepuluh, berhentilah terjadi atau timbulnya akal-akal. Tetapi dari Akal Kesepuluh muncullah bumi serta ruh-ruh dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur :api, udara, air, dan tanah.
Jadi, ada 10 akal dan 9 langit (dari teori Yunani tentang 9 langit) yang kekal berputar sekitar bumi. Tentang qidam (tidak bermulanya) atau barunya alam, al-Farabi mencela orang yang mengatakan bahwa alam ini menurut Aristoteles adalah kekal. Menurut al-Farabi, alam ini terjadi dengan tak mempunyai permulaan dalam waktu, yaitu tidak terjadi secara berangsur-angsur, tetapi sekaligus dengan tak berwaktu.[36]
Mengapa jumlah akal dibatasi kepada bilangan sepuluh? Hal ini disesuaikan dengan bilangan bintang yang berjumlah sembilan, dimana untuk tiap-tiap akal diperlukan untuk satu planet pula, kecuali akal pertama yang tidak disertai sesuatu planet, ketika keluar dari Tuhan. Tetapi mengapa jumlah bintang tersebut ada 9? Karena jumlah benda-benda angkasa menurut Aristoteles ada tujuh. Kemudian al-Farabi menambah dua lagi, yaitu benda langit yang terjauh dan bintang-bintang tetap, yang diambil dari Plotomey (atau Cladius Plotomazus), seorang ahli astronomi dan ahli ilmu bumi di Mesir, yang hidup pada pertengahan abad ke-2 Masehi.[37]
Al-Farabi mengidentifikasi Akal Aktif dengan Malaikat Jibril atau Ruh al-Quds, malaikat pembawa wahyu Ilahi. Akal Aktif merupakan locus atau gudang sempurna dari bentuk-bentuk pengetahuan. Akal Aktif merupakan perantara transenden antara Tuhan dan manusia.[38]
Tidak jelas apa yang dimaksud al-Farabi. Sebagian penyelidik berpendapat bahwa bagi al-Farabi alam ini baru. Tetapi De Boer mengartikan alam bagi al-Farabi adalahqidam (tidak bermula). Yang jelas, bahwa materi asal dari alam memancar dari wujud Allah dan pemancaran itu terjadi dari qidam. Pemancaran diartikan penjadian. Materi dan alam dijadikan, tetapi mungkin sekali bersifat qidam.
Jiwa manusia sebagaimana halnya dengan materi, asal memancarnya dari Akal Kesepuluh. Seperti Aristoteles, al-Farabi juga berpendapat bahwa jika mempunyai daya-daya sebagai berikut:
a.          Gerak (al-muharikah, montion): makan (al-ghaziyah, nutrition), memelihara (al-murabbiyah, preservation), berkembang (al-muwalladah, reproduction).
b.         Mengetahui (al-mudrikah, cognition): merasa (al-hasah, sensation), imajinasi (al-mutakhayalah, imagination).
c.          Berfikir (al-natiqah, intellection), akal praktis (al-‘aql al-‘amali, practical intellect), akal teoritis (al-‘aql al-nazari, theoretical intellect).
Akal Potensial menangkap bentuk-bentuk dari benda-benda yang dapat ditangkap dengan panca indera, akal aktuil menangkap arti-arti dan konsep-konsep dan akal mustafad mempunyai kesanggupan untuk mengadakan komunikasi dengan atau menangkap inspirasi dari akal yang di atas dan di luar diri manusia yaitu Akal Kesepuluh yang diberi nama Akal Aktif (al-‘aql al-fa’al, active intellect) yang didalamnya terdapat bentuk-bentuk segala yang ada semenjak zaman azali. Hubungan akan manusia dengan Akal Aktif sama dengan hubungan antara mata dengan matahari. Mata melihat karena ia menerima cahaya dari matahari. Akal manusia dapat menangkap arti-arti dan bentuk-bentuk karena mendapat cahaya dari Akal Aktif.[39]


BAB III
KESIMPULAN

Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Auzalagh al-Farabi atau yang lebih sering dikenal dengan al-Farabi lahir di Wasij, sebuah dusun kecil di kota Farab, Provinsi Transoxiana, Turkestan, sekitar tahun 870 M.
Dalam perjalanan hidupnya, al-Farabi pernah menjadi hakim, beliau juga seorang tabib yang kenamaan, seorang ahli ilmu pasti dan seorang filsuf yang ulung. Beliau juga banyak mengarang buku, sebagian besar karangan-karangan al-Farabi terdiri dari ulasan dan penjelasaan terhadap filsafat Aristoteles, Plato, dan Galenus, dalam bidang-bidang logika, fisika, dan metafisika. Walaupun banyak tokoh filsafat yang diulas fikirannya, namun ia lebih terkenal sebagai pengulas Aristoteles.
Kehidupan sufi asketik yang dijalaninya membuatnya ia tetap berkehidupan sederhana dengan pikiran dan waktu yang tetap tercurah untuk karir filsafatnya. Akhirnya, pada bulan Desember tahun 950 M, beliau meninggal dunia di Damaskus pada usia ke delapan puluh tahun.
Banyak teori-teori dan pemikiran-pemikiran al-Farabi yang masih sangat terkenal. Hingga sekarangpun dibeberapa sekolah atau universitas di dunia ini masih mengupas mengenai pemikiran-pemikiran beliau. Pemikiran-pemikiran beliau yang masih sering dipelajari hingga sekarang, yakni : pemikiran-pemikiran mengenai filsafat, Filsafat Kenabian (berbicara mengenai kecraguan dan pengingkaran soal kenabian di dalam Islam), pemikirannya tentang adanya Tuhan dan sifat-sifat-Nya,  teori politik al-Farabi, dan yang paling terkenal akan teorinya mengenai Teori Emanasi (Al-Faidl).
Mengenai filsafat, al-Farabi mendefinisikan filsafat adalah : Al Ilmu bilmaujudaat bima Hiya Al Maujudaat, yang berarti suatu ilmu yang menyelidiki hakikat sebenarnya dari segala yang ada ini. Dan secara garis besar, filsafat al-Farabi merupakan perpaduan antara filsafat Plato dan Aristoteles.
Dilanjutkan, persoalan kenabian ada pada agama. Tetapi agama yang dimaksud adalah agama samawi/langit, di mana secara essensial berasal dari pemberitahuan wahyu dan ilham (inspirasi). Berdasarkan wahyu dan ilhamlah segala kaidah dan sendi-sendinya menjadi tegak. Seorang nabi hanyalah seorang biasa, ia diberi kemampuan untuk berhubungan dengan Allah dan mengekspresikan kehendaknya, sebagai keistimewaannya.Inilah teori kenabian yang telah dicapai oleh al-Farabi yang dihubungkan dengan soal-soal sosial dan kejiwaan.Maka nabi dan filosof, menurut al-Farabi adalah dua pribadi sholeh yang akan memimpin negeri utama, dimana keduanya dapat berhubungan dengan Akal Fa’al yang menjadi sumber syari’at dan aturan yang diperlukan bagi kehidupan negeri itu. Perbedaan keduanya, apabila nabi meraih hubungan ini melalui imajinasi, sedangkan filosof melalui jalur studi dan analisa atau kajian.
Al-Farabi membagi ilmu Ketuhanan menjadi tiga, yaitu :pertama, membahas semua wujud dan hal-hal yang terjadi padanya sebagai wujud. Kedua, membahas prinsip-prinsip burhan dalam ilmu-ilmu teori juz’iyat (paticulars) yaitu ilmu yang berdiri karena penelitiannya tentang wujud tertentu. Seperti ilmu mantiq (logika), matematika, atau ilmu juzz’iyyat lainnya. Ketiga, membahas semua wujud yang tidak berupa benda-benda ataupun berada dalam benda-benda itu. Sampai sekarang, kajian hakikat Tuhan yang dikemukakan oleh al-Farabi. Ia menyatakan bahwa Allah adalah wujud yang sempurna dan yang ada tanpa suatu sebab, karena apabila ada sebab bagi-Nya berarti Ia tidak sempurna sebab bergantung kepadanya. Ia wujud yang paling dahulu dan paling mulia. Karena itu Tuhan adalah zat yang azali dan selalu ada.
Seperti yang sudah diulas diatas, filsafat kenabian. Filsafat kenabian erat hubungannya dengan teori politik al-Farabi. Al-Farabi mengandaikan kota seperti badan manusia yang mempunyai bagian-bagian tertentu. Antara anggota badan yang satu dengan yang lain memiliki hubungan yang erat dan mempunyai fungsi-fungsi tertentu yang harus dijalankan untuk kepentingan keseluruhan badan.
Kemudian berlanjut pada pemikiran al-Farabi mengenai emanasi. Dengan filsafat emanasi ini al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Satu. Tuhan bersifat Maha Esa, tidak berubah, jauh dari materi, jauh dari arti banyak, Maha sempurna dan tidak berhajat pada apapun. Kalau demikian hakikat Tuhan, bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari Yang Esa? Jadi, menurut al-Farabi alam terjadi dengan cara emanasi.Al-Farabi memberikan penjelasan tentang emanasi, bahwa segala sesuatu dari Wujud Pertama dalam suatu cara yang sangat sistematik. Argument pokoknya adalah bahwa Yang Pertama karena kelimpahan wujud dan kesempurnaannya mewujudkan seluruh tatanan wujud di alam semesta melalui suatu “keniscayaan alam” yang sama sekali tidak tergantung pada pilihan dan kehendaknya.
Jadi, ada 10 akal dan 9 langit (dari teori Yunani tentang 9 langit) yang kekal berputar sekitar bumi. Tentang qidam (tidak bermulanya) atau barunya alam, al-Farabi mencela orang yang mengatakan bahwa alam ini menurut Aristoteles adalah kekal. Menurut al-Farabi, alam ini terjadi dengan tak mempunyai permulaan dalam waktu, yaitu tidak terjadi secara berangsur-angsur, tetapi sekaligus dengan tak berwaktu.


DAFTAR PUSTAKA
Hamdi, Ahmad Zainul. 2004. Tujuh Filsuf Muslim: Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat Modern. Yogyakarta. Pustaka Pesantren.
Sudarsono. 2010. Filsafat Islam. Jakarta. Rineka Cipta.
Mustofa, A. 1997. Filsafat Islam: Untuk Fakultas Tarbiyah, Syariah, Ushuluddin, Adab, dan Dakwah, Komponen MKDK. Bandung. Pustaka Setia.
Maftukhin. 2012. Filsafat Islam. Yogyakarta. Teras.


[1]Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim : Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat Modern, (Yogyakarta : Pustaka Pesantren, 2004), hal. 71.
[2]Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta : Rineka Cipta, 2010), hal. 30.
[3]Ibid., hal. 30.
[4]A. Mustofa, Filsafat Islam : Untuk Fakultas Tarbiyah, Syariah, Ushuluddin, Adab, dan  Dakwah, Komponen MKDK, (Bandung : Pustaka Setia, 1997), hal. 126.
[5]Ibid., hal. 126.
[6]Sudarsono, Filsafat Islam… hal. 31.
[7]Ibid., hal. 31.
[8]Maftukhin, Filsafat Islam, (Yogyakarta : Teras, 2012), hal. 97.
[9]Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim : Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat Modern… hal. 74.
[10]Sudarsono, Filsafat Islam… hal. 32.
[11]Mustofa, Filsafat Islam : Untuk Fakultas Tarbiyah, Syariah, Ushuluddin, Adab, dan  Dakwah, Komponen MKDK… hal. 128.
[12]Ibid., hal. 129.
[13]Sudarsono, Filsafat Islam… hal. 33.
[14]Maftukhin, Filsafat Islam… hal. 102.
[15]Mustofa, Filsafat Islam : Untuk Fakultas Tarbiyah, Syariah, Ushuluddin, Adab, dan  Dakwah, Komponen MKDK… hal. 137.
[16]Mustofa, Filsafat Islam : Untuk Fakultas Tarbiyah, Syariah, Ushuluddin, Adab, dan  Dakwah, Komponen MKDK… hal. 137-138.
[17]Ibid., hal. 141.
[18]Mustofa, Filsafat Islam : Untuk Fakultas Tarbiyah, Syariah, Ushuluddin, Adab, dan  Dakwah, Komponen MKDK… hal. 133.
[19]Ibid., hal. 133.
[20]Ibid., hal. 135.
[21]Sudarsono, Filsafat Islam… hal. 34.
[22]Ibid., hal. 35.
[23]Ibid., hal. 37.
[24]Maftukhin, Filsafat Islam… hal. 103.
[25]Mustofa, Filsafat Islam : Untuk Fakultas Tarbiyah, Syariah, Ushuluddin, Adab, dan  Dakwah, Komponen MKDK… hal. 131.
[26]Ibid., hal. 132.
[27]Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim : Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat Modern… hal. 83.
[28]Sudarsono, Filsafat Islam… hal. 38.
[29]Mustofa, Filsafat Islam : Untuk Fakultas Tarbiyah, Syariah, Ushuluddin, Adab, dan  Dakwah, Komponen MKDK… hal. 160.
[30]Maftukhin, Filsafat Islam… hal. 98.
[31]Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim : Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat Modern… hal. 85.
[32]Mustofa, Filsafat Islam : Untuk Fakultas Tarbiyah, Syariah, Ushuluddin, Adab, dan  Dakwah, Komponen MKDK… hal. 160.
[33]Maftukhin, Filsafat Islam… hal. 98.
[34]Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim : Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat Modern… hal. 86-87.
[35]Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim : Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat Modern… hal. 87.
[36]Maftukhin, Filsafat Islam… hal. 99.
[37]Mustofa, Filsafat Islam : Untuk Fakultas Tarbiyah, Syariah, Ushuluddin, Adab, dan  Dakwah, Komponen MKDK… hal. 162.
[38]Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim : Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat Modern… hal. 87.
[39]Maftukhin, Filsafat Islam… hal. 101.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar