Selasa, 31 Mei 2016

Filsafat Analitik



BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang.
Belajar filsafat, sepertinya memasuki suatu medan yang luas tiada bertepi, tiada rambu-rambu petunjuk jelas yang dapat menuntun ke jalan keluar yang paling tepat, sehingga semuanya menjadi serba misteri dan penuh problema. Perkembangan terakhir dari filsafat ilmu tersebut adalah sampainya filosof pada penelitian tentang bahasa, dan akan berkelanjutan tanpa berujung.
Munculnya filsafat menurut Bertrand Russel berawal dari konsep tentang hidup dan dunia. Para filosof dunia kebanyakan beranggapan bahwa yang satu haruslah sebagai substansi material.
Bermula dari anggapan tentang asal segala sesuatu, Thales (585 SM) yang diberi julukan sebagai “Bapak Filsafat” beranggapan bahwa segala sesuatu berasal dari air. Anaximinisme beranggapan bahwa substansi itu adalah udara, sedang Heraklitos menganggapnya api, yang akan melahirkan intelegensia, dan jika ditinjau dari segi spritualnya api tidak lain adalah logos. Pytagoras (535-515 SM) dengan argumentasi deduktif matematikanya yang bercorak mistis percaya bahwa bilanganlah yang berperan sebagai pemersatu aneka ragam dalam suasana kosmos. Parmedines (450 SM), doktrinnya telah berpengaruh terhadap Plato. Sampai pada lahirnya teori atomis oleh Leucippus dan Demokraritus. Sampai pada Socrates, Plato, dan Aristoteles. Pada abad ke XVIII dan awal abad ke XX terdapat dua aliran besar yang mendominasi pemikiran filsafat yaitu filsafat idealisme dan filsafat empirisme.
Idealisme berkembang pesat dalam tradisi filsafat Jerman sedangkan empirisme berkembang di Inggris. Aliran filsafat tersebut berkembang terus menerus sampai pada abad ke XX ditandai dengan kemunculan filsafat bahasa yang dipelopori oleh filosof-filosof kontemporer yang menggunakan analisis bahasa melalui gejala-gejala yang nampak.
Untuk itu bahasa adalah alat yang paling penting dari seorang filosof serta perantara untuk menemukan ekspresi. oleh karena itu ia sensitif terhadap kekaburan serta cacat-cacatnya dan merasa simpati untuk menjelaskan dan memperbaikinya. Kebanyakan orang menganggap bahasa itu satu hal yang wajar, seperti udara yang kita isap, tetapi pada waktu sekarang, banyak ahli termasuk di dalamnya filosof-filosof yang memakai “metode logical analitik” melihat bahwa penyelidikan tentang arti serta prinsip-prinsip dan aturan-aturan bahasa merupakan problema yang pokok dalam filsafat.
Hubungan bahasa dengan masalah filsafat telah lama menjadi perhatian para filosof bahkan sejak zaman Yunani. Para filosof mengetahui bahwa berbagai macam problema filsafat dapat dijelaskan melalui suatu analisis bahasa. Sebagai contoh: problema filsafat yang menyangkut pertanyaan, keadilan, kebaikan, kebenaran, kewajiban, hakekat ada (Metafisika) dan pertanyaan-pertanyaan fundamental lainnya dapat dijelaskan dengan menggunakan metode analisis bahasa.
Tradisi inilah oleh para ahli sejarah filsafat disebut sebagai “Filsafat Analitik” yang berkembang di Eropa terutama di Inggris abad XX. Oleh karena itu kesimpulan akan lebih bermakna jikalau disampaikan, penyampaian lebih berarti jikalau kesimpulan tersebut sudah dianalisis terlebih dahulu. Dan di dalam penyampaian pastinya terdapat bahasa, bahasa tak pernah lepas dari menerangkan dan diterangkan. Di dalam filsafat bahasa ini kita membahas tentang Filsafat Analitik.
B.            Rumusan Masalah.
1.      Apa pengertian filsafat bahasa analitik dan bagaimana perkembangannya?
2.      Siapakah tokoh-tokoh filsafat analitik?
3.      Apa saja aliran-aliran analitik bahasa?
C.           Tujuan Pembahasan.
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan wacana kepada pembaca berupa bahan Filsafat Bahasa yang dalam makalah ini membahas tentang filsafat analitika bahasa dengan demikian para pembaca juga mampu mengaplikasikan nilai-nilai yang termuat dalam kebahasaan yang telah kami paparkan. Di samping itu makalah ini juga bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Bahasa.


BAB II
PEMBAHASAN
A.           Pengertian dan Perkembangan Filsafat Bahasa Analitik.
Perhatian filosof terhadap bahasa semakin besar. Mereka sadar bahwa dalam kenyataannya banyak persoalan-persoalan filsafat, konsep-konsep filosofis akan menjadi jelas dengan menggunakan analisis bahasa. Tokoh-tokoh filsafat analitika bahasa hadir dengan terapi analitika bahasanya untuk mengatasi kelemahan, kekaburan, kekacauan yang selama ini ada dalam berbagai macam konsep filosofis.
Secara etimologi kata analitik berarti investigative, logis, mendalam, sistematis, tajam dan tersusun.[1] Sedang secara terminologi terdapat pengertian, diantaranya :
Menurut Rudolph Carnap, filsafat analitik adalah pengungkapan secara sistematik tentang syntax logis (struktur gramatikal dan aturan-aturannya) dari konsep-konsep dan bahasa khususnya bahasa ilmu yang semata-mata formal.[2]
Roger Jones menjelaskan arti filsafat analitik bahwa baginya tindak menganalisis berarti tindak memecah sesuatu ke dalam bagian-bagiannya. Tepat bahwa itulah yang dilakukan oleh para filosof analitik.[3]
Di dalam kamus populer filsafat, filsafat analitik adalah aliran dalam filsafat yang berpangkal pada lingkaran Wina. Filsafat analitik menolak setiap bentuk filsafat yang berbau metafisik. Juga ingin menyerupai ilmu-ilmu alam yang empirik, sehingga kriteria yang berlaku dalam ilmu eksakta juga harus dapat diterapkan pada filsafat (misalnya harus dapat dibuktikan dengan nyata, istilah-istilah yang dipakai harus berarti tunggal, jadi menolak kemungkinan adanya analogi).[4]
Filsafat analitik adalah suatu gerakan filosof Abad ke 20, khususnya di Inggris dan Amerika Serikat yang memusatkan perhatiannya pada bahasa dan mencoba menganalisa pernyataan-pernyataan (konsep-konsep, ungkapan-ungkapan kebahasaan, atau bentuk-bentuk yang logis) supaya menemukan bentuk-bentuk yang paling logis dan singkat yang cocok dengan fakta-fakta atau makna-makna yang disajikan. Yang pokok bagi filsafat analitik adalah pembentukan definisi baik yang linguistik atau nonlinguistik nyata atau yang konstektual.
Filsafat analitik sendiri, secara umum, hendak mengklarifikasi makna dari penyataan dan konsep dengan menggunakan analisis bahasa.
Bilamana dikaji perkembangan filsafat setidaknya terdapat empat fase perkembangan pemikiran filsafat, sejak munculnya pemikiran yang pertama sampai dewasa ini, yang menghiasi panggung sejarah umat manusia.[5]
Pertamakosmosentris yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan alam sebagai objek pemikiran dan wacana filsafat, yaitu yang terjadi pada zaman kuno.
Kedua, teosentris yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan Tuhan sebagai pusat pembahasan filsafat, yang berkembang pada zaman abad pertengahan.
Ketiga, antroposentris yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan manusia sebagai objek wacana filsafat, hal ini terjadi dan berkembang pada zaman modern.
Keempat, logosentris yaitu fase perkembangan pemikiran filsafat yang meletakkan bahasa sebagai pusat perhatian pemikiran filsafat dan hal ini berkembang setelah abad modern sampai sekarang. Fase perkembangan terakhir ini ditandai dengan aksentuasi filosof pada bahasa yang disadarinya bahwa bahasa merupakan wahana pengungkapan peradaban manusia yang sangat kompleks itu.
Perhatian filsafat terhadap bahasa sebenarnya telah berlangsung lama, bahkan sejak zaman Pra Sokrates, yaitu ketika Herakleitos membahas tentang hakikat segala sesuatu termasuk alam semesta.
Bahkan Aristoteles menyebutnya sebagai “para fisiologis kuno” atau ‘hoi arkhaioi physiologoi’. Seluruh minat herakleitos terpusatkan pada dunia fenomenal. Ia tidak setuju bahwa di atas dunia fenomenal ini, terdapat ‘dunia menjadi’ namun ada dunia yang lebih tinggi, dunia idea, dunia kekal yang berisi ‘ada’ yang murni.
Meskipun begitu ia tidak puas hanya dengan fakta perubahan saja, ia mencari prinsip perubahan. Menurut Herakleitos, prinsip perubahan ini tidak dapat ditemukan dalam benda material. Petunjuk ke arah tafsiran yang tepat terhadap tata kosmis bukanlah dunia material melainkan dunia manusiawi, dan dalam dunia manusiawi ini kemampuan bicara menduduki tempat yang sentral.
Dalam pengertian inilah maka medium Herakleitos bahwa “kata” (logos) bukan semata-mata gejala antropologi. Kata tidak hanya mengandung kebenaran universal. Bahkan Herakleitos mengatakan “jangan dengar aku”, “dengarlah pada sang kata dan akuilah bahwa semua benda itu satu”.[6] Demikian sehingga pemikiran Yunani awal bergeser dari filsafat alam kepada filsafat bahasa yang meletakkan sebagai objek kajian filsafat.
Filsafat bahasa mulai berkembang pada abad ke XX dengan telaah analitik filosofi Wittgenstein tentang bahasa. Noam Chomskylah yang pertama-tama mengangkat bahasa sebagai disiplin linguistik. Grice dan Quinelah yang mengangkat meaning sebagai intensionalitas si pembicara dan meaning dalam konteks kejadiannya.
Davidson lebih lanjut mengetengahkan tentang struktur semantik, untuk memahami bahasa, termasuk unsur-unsurnya dan mengembangkan tentang interpretasi yang dapat berbeda antara si pembicara dan yang dibicarakan. Frege lebih lanjut mengembangkan konsep tentang referensi. Ekspresi bahasa bukan hanya representasi of mine, tetapi juga mengandung referensi, yaitu hal-hal yang relevan dengan pernyataan yang ditampilkan.[7]
Filsafat abad modern memberikan dasar-dasar yang kokoh terhadap timbulnya filsafat analitika bahasa. Peranan rasio, indra, dan intuisi manusia sangat menentukan dalam pengenalan pengetahuan manusia. Oleh karena itu aliran rasionalisme yang menekankan otoritas akal, aliran empirisme yang menekankan peranan pengalaman indera dalam pengenalan pengetahuan manusia serta aliran imaterialisme dan kritisme Immanuel Kant menjadi sangat penting sekali pengaruhnya terhadap tumbuhnya filsafat analitika bahasa terutama dalam pengungkapan realitas segala sesuatu melalui ungkapan bahasa.
Lebih lanjut lagi, yakni pembahasan mengenai perkembangan Filsafat Analitik Bahasa, mengatakan bahasa adalah alat yang paling utama bagi seorang filsuf serta merupakan media untuk analisis dan refleksi.
Oleh karena itu bahasa sangat sensitif terhadap kekaburan serta kelemahan-kelemahan lainnya, sehingga banyak filsuf menaruh perhatian untuk menyempurnakannya. Hal ini terutama dengan timbulnya aliran filsafat analitika bahasa yang memandang bahwa problema-problema filosofis akan menjadi terjelaskan menekala menggunakan analisis terminologi gramatika, bahkan kalangan filsuf analitika bahasa menyadari banyak ungkapan-ungkapan filsafat yang sama sekali tidak menjelaskan apa-apa.
Berdasarkan hal tersebut maka banyak kalangan filsuf terutama para tokoh filsafat analitika bahasa menyatakan bahwa tugas utama filsafat adalah analisis konsep-konsep.
Sebagaimana kita ketahui misalnya banyak filsuf yang mengetengahkan konsepnya melalui analitika bahasa, misalnya ‘apakah keadilan itu’, ‘apakah yang dimaksud dengan kebenaran’, ‘apakah yang dimaksud dengan kebaikan’ dan lain sebagainya. Kegiatan yang semacam itu merupakan suatu permulaan dari suatu usaha pokok filsafat untuk mendapatkan kebenaran hakiki tentang segala sesuatu termasuk manusia sendiri.
Namun demikian kegiatan para filsuf semacam itu dewasa ini dianggap tidak mencukupi karena tidak didukung dengan pengamatan dan pembuktian yang memadai untuk mendapatkan kesimpulan yang kuat. Oleh karena itu untuk menjawab pertanyaan yang fundamental tentang hakikat segala sesuatu para filsuf berupaya untuk memberikan suatu argumentasi yang didukung dengan analisis bahasa yang memenuhi syarat-syarat logis.
Untuk itu terdapat tiga cara untuk memformulasikan problema filsafat secara analitis misalnya masalah sebab-akibat, kebenaran, pengetahuan ataupun kewajiban moral, misalnya tentang hakikat pengetahuan sebagai berikut:[8]
1.      Kita menyelidiki pengetahuan itu.
2.      Kita menganalisis konsep pengetahuan itu.
3.      Kita ingin membuat eksplisit kebenaran pengetahuan itu.
Untuk pemecahan yang pertama mustahil dapat dilaksanakan karena seakan-akan filsafat itu mencari dan meneliti suatu entitas (keberadaan) sesuatu yang disebut pengetahuan berada bebas dari pikiran manusia. Untuk yang kedua itu juga menyesatkan karena seakan-akan tugas filsafat untuk memeriksa, meneliti dan mengamati sesuatu yang disebut pengetahuan. Kemudian menentukan bagian-bagiannya, menentukan hubungan-hubungannya hingga menjadi suatu konsep yang disebut pengetahuan. Kiranya hanya kemungkinan alternatif yang ketiga saja yang layak dilakukan oleh filsafat, yaitu bahwa tugas utama filsafat adalah analisis konsep-konsep tersebut senantiasa melalui bahasa.[9]
B.            Tokoh-Tokoh Filsafat Analitik Bahasa.
Sebenarnya banyak sekali tokoh Filsafat Bahasa yang sangat berpengaruh pemikirannya terhadap perkembangan Filsafat Bahasa itu sendiri, mulai dari kemunculannya sampai zaman sekarang. Namun karena beberapa hal, pemakalah hanya mencantumkan tiga tokoh Filsafat Analitik Bahasa yang dirasa sangat penting untuk dibahas. Diantaranya adalah Gottlob Frege, Bertrand Russell, dan Ludwig Wittgenstein. Untuk lebih jelasnya, berikut pemparan mengenai para tokoh yang sudah disebutkan diatas:
1.      Gottlob Frege.
Para filosof analitik berpendapat bahwa filsuf Jerman, Gottlob Frege (1848-1925), adalah filosof terpenting setelah Immanuel Kant. Frege hendak merumuskan logika yang rigorus sebagai metode berfilsafatnya. Dengan kata lain, filsafat itu sendiri pada intinya adalah logika.[10]
Dalam hal ini, ia dipengaruhi filsafat analitik, filsafat-logika, dan filsafat bahasa. Frege berpendapat bahwa dasar yang kokoh bagi matematika dapat ‘diamankan’ melalui logika dan analisis yang ketat terhadap logika dasar kalimat-kalimat. Cara itu juga bisa menentukan tingkat kebenaran suatu pernyataan.
Akar-akar analisis linguistik ditanam di lahan yang disiangi oleh seorang matematikawan bernama G. Frege, ia memulai sebuah revolusi logika (analitik), yang implikasinya masih dalam proses penanganan oleh filosof-filosof kontemporer. Ia menganggap bahwa logika sebetulnya bisa direduksi ke dalam matematika, dan yakin bahwa bukti-bukti harus selalu dikemukakan dalam bentuk langkah-langkah deduktif yang diungkapkan dengan gamblang.[11]
Salah satu idenya yang paling berpengaruh adalah membuat perbedaan antara “arti” (sense) proposisi dan “acuan” (reference)-nya, dengan mengetengahkan bahwa proposisi memiliki makna hanya apabila mempunyai arti dan acuan.
Frege juga menyusun notasi baru yang memunkinkan terekpresikannya “penentu kuantitas” (kata-kata seperti “semua”, “beberapa” dan sebagainya) dalam bentuk simbol-simbol. Ia berharap para filosof bisa menggunakan notasi ini untuk menyempurnakan bentuk logis argumen mereka, sehingga memungkinkan mereka untuk jauh lebih dekat, daripada waktu-waktu sebelumnya, dengan ide pembuatan filsafat menjadi ilmu yang ketat.[12]
2.      Bertrand Russell.
Bertrand Russel (1872-1970)  lahir dari keluarga bangsawan. Pada umur 2 dan 4 tahun berturut-turut ia kehilangan ibu dan ayahnya. Ia dibesarkan di rumah orang tua ayahnya.[13]
Di Cambrige, ia belajar ilmu pasti dan filsafat, antara lain pada A. Whitehead. Kita sudah mendengar bahwa George Moore termasuk sahabatnya. Selama hidupnya yang amat panjang, ia menulis banyak sekali buku. Sekitar 71 buku dan brosur tentang berbagai pokok, antara lain filsafat, masalah-masalah moral, pendidikan, sejarah, agama, dan politik.
Pada tahun 1950 ia memperoleh hadiah Nobel bidang sastra. Namanya menjadi masyhur di seluruh dunia terutama karena pendapat-pendapatnya yang nonkonformistis tentang moral dan politik. Dari sudut ilmiah jasanya yang terbesar terdapat di bidang logika Matematis.
Pemikiran filosofis Bertrand Russell  yaitu ia mencoba menggabungkan logika Frege tersebut dengan empirisme yang sebelumnya telah dirumuskan oleh David Hume. Bagi Russell, dunia terdiri dari fakta-fakta atomis (atomic facts). Dalam konteks ini, kalimat-kalimat barulah bisa disebut sebagai kalimat bermakna, jika kalimat tersebut berkorespondensi langsung dengan fakta-fakta atomik. Ludwig Wittgenstein (1889-1951) juga nantinya banyak dipengaruhi oleh Russell. Dia sendiri mempengaruhi Lingkaran Wina dan membantu membentuk aliran positivisme logis pada dekade 1920-1930 an.[14]
3.      Ludwig Wittgenstein.[15]
Ludwig Wittgenstein dilahirkan di Wina (Austria) pada tanggal 26 April 1889 sebagai anak bungsu dari delapan anak. Ayahnya berasal dari famili Yahudi yang telah memeluk agama Kristen Protestan dan ibunya beragama Katolik. Ayahnya seorang insinyur yang dalam jangka waktu sepuluh tahun berhasil menjadi pemimpin suatu industri baja yang besar.
Pada Tahun 1906 Wittgenstein mulai belajar di suatu Sekolah Tinggi Teknik di Berlin. Setelah itu Ia pindah ke Inggris dan melakukan penyelidikan tentang aeronautical selama tiga tahun. Karena tertarik kepada buku Principles of Mathematics tulisan Bertrand Russell, ia pergi ke Cambridge untuk belajar kepada Russell, ia mendapat kemajuan pesat dalam studi tentang logika.
Setelah perang dunia I meletus, ia bergabung dengan tentara Austria sebagai sukarelawan dan ditawan oleh tentara Italia pada tahun 1918. Setelah dibebaskan ia mengajar di sekolah, tetapi pada tahun 1929, ia kembali ke Cambridge untuk berkecimpung dalam filsafat. Pada tahun 1939 ia mengganti G.E. Moore sebagai guru besar fislafat di Cambridge University, Inggris. Karyanya merupakan faktor penting dalam timbulnya aliran-aliran Logical Positivism, Linguistic Analysis dan semantics.
C.           Aliran-Aliran Filsafat Analitik Bahasa.
Analitika bahasa adalah suatu metode yang khas dalam filsafat untuk menjelaskan, menguraikan dan menguji kebenaran ungkapan-ungkapan filosofis. Secara historis tradisi ini sebenarnya telah berkembang sejak lama bahkan sejak zaman pra Sokrates.
Namun demikian, lalu istilah itu menjadi populer dan berkembang pada abad XX terutama di Inggris khususnya dan Eropa pada umumnya. Perkembangan filsafat analitika bahasa itu memang tidak dapat dijelaskan begitu saja. Terpisahkan dari aliran-aliran yang berkembang sebelumnya seperti aliran rasionalisme. Idealisme, empirisme, imaterialisme dan aliran postivisme.[16]
Atas dasar kenyataan historis yang demikian inilah maka filsafat analitika bahasa menjadi sangat sulit sekali untuk dibatasi berdasarkan wilayah perkembangannya. Oleh karena itu akan menjadi lebih memadai bilamana uraian perkembangan filsafat analitika bahasa itu difokuskan pada perkembangan berdasarkan aliran-aliran.
Terlebih lagi terdapat banyak filsuf yang memiliki kebiasaan melanglang jagad, pindah dari negara satu ke negara lainnya misalnya Bertrand Russell, Wittgenstein dan tokoh lainnya. Demikian juga terdapat suatu aliran yang berkembang di Eropa akan tetapi pusatnya di Wina sehingga aliran tersebut juga disebut ‘Mazhab Wina’ atau ‘kring Wina’. Selain itu setelah perkembangan filsafat bahasa biasa, pengaruhnya meliputi berbagai negara di Eropa maupun Amerika.[17]
Pada dasarnya perkembangan filsafat analitika bahasa itu meliputi tiga aliran yang pokok yaitu ‘atomisme logis’ (logical atomism), ‘positivisme logis’ (logical positivism), atau kadang disebut juga ‘empirisme logis’ (logical empirism), dan‘filsafat bahasa biasa’ (ordinary language philosophy), berikut penjelasannya:
Atomisme Logis, dalam perkembangan pemikiran filsafat di Iggris, permulaan abad XX, muncullah suatu perkembangan pemikiran baru yang oleh para ahli sejarah filsafat disebut sebagai suatu perubahan yang radikal atau sebagai suatu ‘revolusi’. Perkembangan baru ini membawa perubahan dalam gaya, arah dan corak pemikirannya. Pusat dari gerakan pemikiran filsafat yang baru ini adalah di Cambridge Inggris yang dirintis oleh G.E. Moore (1873-1958). Dan sebagai tokoh utamanya yaitu Bertrand Russell (1872-1970) dan Ludwig Wittgestein (1889-1951).[18]
Bertrand Russell sendiri sebenarnya sebagai seorang penganut empirisme yang mengikuti jejak John Locke dan David Hume, sehingga konsep filosofisnya nampak adanya garis-garis filsafat empirisme. Nama ‘Atomisme logis’ yang dipilih oleh Bertrand Russell menunjukkan adanya pengaruh dari David Hume dalam suatu karyanya yang berjudul ‘An Enguiry Concerning Human Understanding’.[19]
Struktur pemikiran atomisme logis diilhami oleh konsep Hume tentang susunan ide-ide dalam pengenalan manusia. Menurut Hume semua ide yang kompleks itu terdiri atas ide-ide yang sederhana atau ide yang atomis (atomic ideas) yang merupakan ide yang terkecil.
Hume percaya bahwa filsuf itu hendaknya melaksanakan analisis fisikologis terhadap ide. Dalam kaitan ini Bertrand Russell menolak atomisme fisikologisnya David Hume dan analisis itu bukannya pada aspek fisikologis namun dilakukan terhadap proposisi-proposisi. Atas dasar inilah Bertrand Russell memilih nama atomisme logis dari pada realisme.[20]
Walaupun pemikiran atomisme logis yang dikembangkan oleh Bertrand Russell dipengaruhi oleh empirisme terutama John Locke dan David Hume, namun dalam kenyataannya tradisi idealispun juga memberikan garis dan warna dalam pemikirannya.[21]
Pengaruh pemikiran idealisme tersebut antara lain dari F.H. Bradley dan pemikiran analitis G.E. Moore. F.H. Bredly mempengaruhi bidang formulasi logika proposisi sedangkan G.E. Moore memberikan tekanan pada ciri analisisnya. Demikianlah dalam kenyataannya munculnya pemikiran baru atomisme logis di Inggris tidak dapat dipisahkan dengan para tokoh yang mempengaruhi dan memberikan sumbangan kepada atomisme logis.
Positivisme Logis, pada tahun 1922 berkembanglah suatu gerakan filsafat baru yang dirintis oleh seorang fisikus sekaligus seorang filsuf bernama Moritz Schlik (1882-1936). Gerakan filsafat baru ini berpusat di Wina, yaitu suatu kota yang sekaligus sebagai pusat kelompok ilmuwan yang terkenal dengan nama Vienna Circle atau dikenal juga mazhab Wina (Kring Wina).[22]
Anggota-anggota lingkungan Wina ini antara lain: Kurt Goedel, seorang ahli matematika, Hans Hahn juga seorang ahli matematika, Karl Menger ahli matematika, Philip Frank seorang ahli fisika, Rudolf Carnap ahli matematika dan fisika, serta beberapa mahasiswa antara lain, Friederich Wismann dan Herbert Feigl.
Aliran ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran filsafat Ludwig Wittgenstein, walaupun pengaruhnya bersifat langsung dan sebenarnya Wittgenstein sendiri tidak ikut aktif dalam kelompok Wina tersebut. Melalui suatu karangan kecil yang disusun oleh Neurath, Hans Hahn dan Rudolf Carnap mengeluarkan suatu deklarasi ilmiah dalam suatu Konggres Internasional pertama dengan judul Wissenschaftliche Weltauffasung: der Wiener Kreis (pandangan dunia yang bersifat alamiah: Lingkungan Wina). Pandangan ini menguraikan tentang pendirian filosofis kelompok lingkungan Wina yang sangat diwarnai oleh ilmu-ilmu pengetahuan positif. Aliran ini sangat dipengaruhi oleh tradisi empirisme yang melanjutkan garis tegas pada leluhurnya yaitu David Hume, John Stuart Mill dan Ernest Mach.[23]
Berdasarkan nama yang dipopulerkannya aliran ini juga mendapat positivisme. Beberapa kali diusulkan nama empirisme logis dan oleh karena nama tersebut lazim digunakan oleh aliran filsafat yang berkembang di Amerika, Inggris dan Skandinavia. Oleh karena itu aliran tersebut disepakati dengan nama ‘neopositivisme’ atau populer dikenal dengan nama ‘positivisme logis’.
Positivisme logis menerima pandangan-pandangan filosofis dari atomisme logis tentang logika dan cara atau teknik analisisnya namun demikian positivisme logis menolak metafisika atomisme logis. Positivisme logis menggunakan teknik analisis untuk dua macam tujuan:[24]
Pertama: bertujuan untuk menghilangkan metafisika. Ungakapan-ungkapan metafisis itu ditolak oleh kaum positivisme logis bukan karena bersifat emotive, melainkan pada dirinya sendiri tak dapat ditolak, namun karena berpura-pura sebagai ungkapan atau hal yang bersifat kognotif. Oleh karena itu ungkapan-ungkapan metafisis itu pada hakikatnya tidak menyatakan apa-apa sehingga bersifat ‘nirarti’ atau tidak bermakna.
Analisis logis dengan demikian memberi keputusan dan menyatakan arti pada setiap apa yang disebut pengetahuan yang berpura-pura melampaui batas-batas pengalaman. Keputusan ini pertama-tama mengenai pada metafisika yang spekulatif, apa yang dimaksud dengan pengetahuan yang berasal dari pemikiran murni, atau oleh intuisi murni yang berpura-pura dapat dilakukan tanpa pengalaman.
Penekanan pada pengalaman menunjukkan aspek empirisme yang kuat dalam positivisme logis. Oleh karena itulah maka positivisme sering disebut empirisme logis. Penolakan terhadap metafisika oleh positivisme logis tidak boleh diartikan bahwa positivisme logis itu menolak atau mengingkari kebenaran dunia luar atau dunia yang transenden, melainkan bahwa pernyataan-pernyataan metafisika itu nirarti tidaklah berarti suatu pengingkaran atasnya.
Jadi kaum positivisme logis atau empirisme logis itu tidak menyatakan bahwa apa yang dikatakan oleh kaum metafisika itu salah, akan tetapi bahwa apa yang dikatakan kaum metafisika itu tidak menyatakan sesuatu sama sekali. Positivisme logis tidak melawan metafisika, hanya dinyatakannya bahwa apa yang dikatakan oleh kaum metafisika itu tidak dapat dipahami, atau tidak menyatakan sesuatu sama sekali.
Kedua, positivisme logis menggunakan teknik analisis demi penjelasan bahasa ilmiah dan bukan untuk menganalisis pernyataan-pernyataan fakta ilmiah. Sebab dengan analisis filsafati kita tak dapat menentukan apakah sesuatu itu nyata (real), tetapi hanya apa artinya apabila kita menyatakan bahwa sesuatu itu nyata.
Demikian juga apakah hal itu memang demikian atau tidak, hal itu hanya dapat diputuskan melalui metode umumnya dalam kehidupan sehari-hari dan dari ilmu pengetahuan, yaitu melalui pengalaman. Jadi menurut positivisme logis tugas filsafat itu memperhatikan analisis-analisis dan penjelasan tentang pernyataan-pernyataan dan proposisi-proposisi terutama dari ilmu pengetahuan.
Filsafat Bahasa Biasa (The Ordinary Language Philosophy), berkembangnya konsep pemikiran filsafat analitik sebagai reaksi ketidak puasan dunia pemikiran filsafat pada saat itu yang didominasi oleh tradisi idealisme terutama kalangan teolog, yang sangat mengagungkan pentingnya metafisika. Para tokoh filsafat analitika bahasa menyadari bahwa dalam kenyataannya banyak problem-problem filsafat dapat diselesaikan melalui analisis bahasa.[25]
Oleh karena itu bahasa merupakan pusat perhatian kalangan filsuf analitika. Ungkapan-ungkapan metafisika mendapat perhatian yang serius bahkan pada aliran atomisme logis dan positivisme logis ingin membersihkan filsafat dari metafisika. Untuk itu mereka memilih proyek yang spektakuler dan sangat ambisius yaitu ingin mewujudkan suatu bahasa yang ideal, yaitu bahasa yang memiliki struktur logika yang sesuai dengan struktur logika dari realitas dunia.
Dalam masalah ini Wittgenstein dalam karyanya Tractatus Logico Philosophicus merupakan karya yang besar yang menekankan tentang logika bahasa. Para tokoh filsafat analitika bahasa memusatkan perhatian pada aspek semantik bahasa, sehingga melalui kategori-kategori logika mereka menentukan bahasa yang bermakna atau bahasa yang tidak bermakna.[26]
Mereka dengan keyakinan yang kuat menyatakan bahwa berdasarkan logika bahasa ungkapan-ungkapan metafisika dari kalangan penganut idealisme terutama bidang teologi, etika, aksiologi, estetika dan terutama ontologi pada hakikatnya tidak bermakna. Ungkapan-ungkapan metafisika itu sebenarnya tidak mengungkapkan realitas empirik, oleh karena itu ungkapan-ungkapan tersebut sebenarnya adalah nirarti atau sama sekali tidak bermakna.
Reaksi yang sangat radikal dari kalangan atomisme logis dan prinsip verifikasi positivisme logis tersebut memang sempat menggemparkan dunia pemikiran filsafat di Eropa terutama di Inggris, bahkan Ludwig Wittgenstein sendiri mendapat gelar doktornya karena karyanya Tractatus Logico Philosophicus. Begitu juga gurunya Bertrand Russell yang dengan tegas menyatakan bahwa ungkapan-ungkapan bahasa metafisika pada hakikatnya adalah omong kosong belaka, karena sama sekali tidak melukiskan suatu realitas dunia, dan tidak melukiskan suatu kebenaran peristiwa secara empiris.
Namun dengan dasar-dasar yang kuat para tokoh filsafat analitik yang mendasarkan aspek semantik bahasa melalui struktur logika, mereka lupa bahwa aspek semantik sendiri memiliki sifat metafisis karena tidak dapat diamati dengan indra manusia.
Tidak dapat disangkal lagi bahwa dalam filsafat atomisme logis sendiri terkandung suatu prinsip metafisika. Hal ini sebagaimana diakui sendiri oleh Russell yaitu bahwa teori atomisme logis ingin menjelaskan suatu struktur hakiki bahasa yang sepadan dengan dunia, atau dengan lain perkataan teori ini ingin mengungkapkan bahwa bagaimana akhirnya dunia diasalkan kepada fakta-fakta atomis.
Hal yang demikian ini jelas merupakan suatu pendapat yang bersifat metafisis. Bahkan sebagaimana kita ketahui bahwa pemikiran Russell itu sama sekali tidak berdasarkan pada data-data empiris, melainkan berasal dari suatu analisis melalui bahasa. Dengan demikian nampak jelas bagi kita bahwa metafisika yang terkandung dalam teori Russell itu merupakan suatu pluralisme radikal, dalam sejarah filsafat analitika bahasa.[27]
Begitu juga pemikiran Wittgenstein melalui Tractatus yang mendasarkan pada aspek semantik bahasa dengan menekankan struktur logika dalam kenyataannya juga terkandung di dalamnya dasar-dasar metafisika. Formulasi logika bahasa menemui berbagai macam keterbatasan dan kesulitan, sehingga ia sendiri menyatakan bahwa setiap orang yang membaca Tractatus akhirnya akan sampai pada suatu titik di mana dia akan mengerti bahwa ungkapan-ungkapan bahasa dalam Tractatus sebenarnya tidak bermakna. Hal itu dikatakan oleh Wittgenstein dianalogkan seperti orang yang memanjat melalui tangga dan setelah sampai pada tujuan maka tangga tersebut dibuangnya.[28]
BAB III
KESIMPULAN

Filsafat analitik adalah suatu gerakan filosof Abad ke 20, khususnya di Inggris dan Amerika Serikat yang memusatkan perhatiannya pada bahasa dan mencoba menganalisa pernyataan-pernyataan (konsep-konsep, ungkapan-ungkapan kebahasaan atau bentuk-bentuk yang logis) supaya menemukan bentuk-bentuk yang paling logis dan singkat yang cocok dengan fakta-fakta atau makna-makna yang disajikan. Perhatian filsafat terhadap bahasa sebenarnya telah berlangsung lama, bahkan sejak zaman Pra Sokrates, akan tetapi filsafat bahasa tersebut menjadi populer pada abad ke XX dengan telaah analitik filosofik Wittgenstein tentang bahasa.
Adapun tokoh-tokoh yang melahirkan filsafat analitik sebagai berikut: Gottlob Frege, dengan merumuskan logika yang rigorus sebagai metode berfilsafatnya. Dengan kata lain, filsafat itu sendiri pada intinya adalah logika. Beltrand Russell, dengan pemikirannya yaitu ia mencoba menggabungkan logika Frege tersebut dengan empirisme yang sebelumnya telah dirumuskan oleh David Hume. Dan Ludwig Wittgeinsten, dengan karyanya yang merupakan faktor penting dalam timbulnya aliran-aliran Logical Positivism, Linguistic Analysis dan semantics..
Aliran-aliran analitik bahasa yang pertama adalah atomisme logis, yang kedua positivisme logis dan yang ketiga  filsafat bahasa biasa (the ordinary language philosophy).


DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K. 1975. Sejarah Filsafat Yunani. Jakarta: Kanisius.
Bertens, K. 1981. Filsafat Barat dalam Abad XX. Jakarta: Gramedia.




[2] http://jaringskripsi.wordpress.com, diakses pada tanggal 01 Oktober 2015, pukul 10.00 WIB.
[3] K. Bertens, Filsafat Barat dalam Abad XX, (Jakarta: Gramedia, 1981), hal. 78.
[5] K. Bertens, Filsafat Barat dalam Abad XX... hal. 111.
[6]http://rezaantonius.wordpress.com/2008/02/24/filsafat-analitik, diakses pada tanggal 30 September 2015, pukul 15.50 WIB.
[7] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Jakarta: Kanisius, 1975), hal. 99.
[8] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani... hal. 97.
[10] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani... hal. 95.
[11] Ibid, hal. 97.
[12] Ibid, hal. 98.
[14] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani... hal. 110.
[15] Ibid, hal. 111.
[16]http://rezaantonius.wordpress.com/2008/02/24/filsafat-analitik, diakses pada tanggal 30 September 2015, pukul 15.50 WIB.
[18] K. Bertens, Filsafat Barat dalam Abad XX... hal. 110.
[19] Ibid, hal. 112.
[20] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, hal. 120.
[21] Ibid, hal. 121.
[23] K. Bertens, Filsafat Barat dalam Abad XX... hal. 115.
[24]http://rezaantonius.wordpress.com/2008/02/24/filsafat-analitik, diakses pada tanggal 30 September 2015, pukul 15.50 WIB.
[26] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, hal. 125.
[27] K. Bertens, Filsafat Barat dalam Abad XX... hal. 120.
[28] Ibid, hal. 121.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar