BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang.
Belajar filsafat, sepertinya memasuki suatu
medan yang luas tiada bertepi, tiada rambu-rambu petunjuk jelas yang dapat
menuntun ke jalan keluar yang paling tepat, sehingga semuanya menjadi serba
misteri dan penuh problema. Perkembangan terakhir dari filsafat ilmu tersebut
adalah sampainya filosof pada penelitian tentang bahasa, dan akan berkelanjutan
tanpa berujung.
Munculnya filsafat menurut Bertrand Russel
berawal dari konsep tentang hidup dan dunia. Para filosof dunia kebanyakan
beranggapan bahwa yang satu haruslah sebagai substansi material.
Bermula dari anggapan tentang asal segala
sesuatu, Thales (585 SM) yang diberi julukan sebagai “Bapak Filsafat” beranggapan
bahwa segala sesuatu berasal dari air. Anaximinisme beranggapan bahwa substansi
itu adalah udara, sedang Heraklitos menganggapnya api, yang akan melahirkan
intelegensia, dan jika ditinjau dari segi spritualnya api tidak lain adalah
logos. Pytagoras (535-515 SM) dengan argumentasi deduktif matematikanya yang
bercorak mistis percaya bahwa bilanganlah yang berperan sebagai pemersatu aneka
ragam dalam suasana kosmos. Parmedines (450 SM), doktrinnya telah berpengaruh
terhadap Plato. Sampai pada lahirnya teori atomis oleh Leucippus dan Demokraritus.
Sampai pada Socrates, Plato, dan Aristoteles. Pada abad ke XVIII dan awal abad
ke XX terdapat dua aliran besar yang mendominasi pemikiran filsafat yaitu
filsafat idealisme dan filsafat empirisme.
Idealisme berkembang pesat dalam tradisi
filsafat Jerman sedangkan empirisme berkembang di Inggris. Aliran filsafat
tersebut berkembang terus menerus sampai pada abad ke XX ditandai dengan
kemunculan filsafat bahasa yang dipelopori oleh filosof-filosof kontemporer yang
menggunakan analisis bahasa melalui gejala-gejala yang nampak.
Untuk itu bahasa adalah alat yang paling
penting dari seorang filosof serta perantara untuk menemukan ekspresi. oleh
karena itu ia sensitif terhadap kekaburan serta cacat-cacatnya dan merasa simpati
untuk menjelaskan dan memperbaikinya. Kebanyakan orang menganggap bahasa itu
satu hal yang wajar, seperti udara yang kita isap, tetapi pada waktu sekarang,
banyak ahli termasuk di dalamnya filosof-filosof yang memakai “metode logical
analitik” melihat bahwa penyelidikan tentang arti serta prinsip-prinsip dan
aturan-aturan bahasa merupakan problema yang pokok dalam filsafat.
Hubungan bahasa dengan masalah filsafat telah
lama menjadi perhatian para filosof bahkan sejak zaman Yunani. Para filosof
mengetahui bahwa berbagai macam problema filsafat dapat dijelaskan melalui
suatu analisis bahasa. Sebagai contoh: problema filsafat yang menyangkut
pertanyaan, keadilan, kebaikan, kebenaran, kewajiban, hakekat ada (Metafisika)
dan pertanyaan-pertanyaan fundamental lainnya dapat dijelaskan dengan
menggunakan metode analisis bahasa.
Tradisi inilah oleh para ahli sejarah filsafat
disebut sebagai “Filsafat Analitik” yang berkembang di Eropa terutama di Inggris
abad XX. Oleh karena itu kesimpulan akan lebih bermakna jikalau disampaikan,
penyampaian lebih berarti jikalau kesimpulan tersebut sudah dianalisis terlebih
dahulu. Dan di dalam penyampaian pastinya terdapat bahasa, bahasa tak pernah
lepas dari menerangkan dan diterangkan. Di dalam filsafat bahasa ini kita membahas
tentang Filsafat Analitik.
B.
Rumusan Masalah.
1.
Apa pengertian filsafat bahasa analitik dan bagaimana
perkembangannya?
2.
Siapakah tokoh-tokoh filsafat analitik?
3.
Apa saja aliran-aliran analitik bahasa?
C.
Tujuan Pembahasan.
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk
memberikan wacana kepada pembaca berupa bahan Filsafat Bahasa yang dalam
makalah ini membahas tentang filsafat analitika bahasa dengan demikian para
pembaca juga mampu mengaplikasikan nilai-nilai yang termuat dalam kebahasaan
yang telah kami paparkan. Di samping itu makalah ini juga bertujuan untuk
memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Bahasa.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian dan Perkembangan Filsafat Bahasa Analitik.
Perhatian filosof terhadap bahasa semakin besar.
Mereka sadar bahwa dalam kenyataannya banyak persoalan-persoalan filsafat,
konsep-konsep filosofis akan menjadi jelas dengan menggunakan analisis bahasa.
Tokoh-tokoh filsafat analitika bahasa hadir dengan terapi analitika bahasanya
untuk mengatasi kelemahan, kekaburan, kekacauan yang selama ini ada dalam
berbagai macam konsep filosofis.
Secara etimologi kata analitik berarti
investigative, logis, mendalam, sistematis, tajam dan tersusun.[1] Sedang
secara terminologi terdapat pengertian, diantaranya :
Menurut Rudolph
Carnap, filsafat analitik adalah pengungkapan secara sistematik tentang syntax
logis (struktur gramatikal dan aturan-aturannya) dari konsep-konsep
dan bahasa khususnya bahasa ilmu yang semata-mata formal.[2]
Roger Jones
menjelaskan arti filsafat analitik bahwa baginya tindak menganalisis berarti
tindak memecah sesuatu ke dalam bagian-bagiannya. Tepat bahwa itulah yang
dilakukan oleh para filosof analitik.[3]
Di dalam kamus
populer filsafat, filsafat analitik adalah aliran dalam filsafat yang berpangkal
pada lingkaran Wina. Filsafat analitik menolak setiap bentuk filsafat yang
berbau metafisik. Juga ingin menyerupai ilmu-ilmu alam yang empirik, sehingga
kriteria yang berlaku dalam ilmu eksakta juga harus dapat diterapkan pada
filsafat (misalnya harus dapat dibuktikan dengan nyata, istilah-istilah yang
dipakai harus berarti tunggal, jadi menolak kemungkinan adanya analogi).[4]
Filsafat
analitik adalah suatu gerakan filosof Abad ke 20, khususnya di Inggris dan
Amerika Serikat yang memusatkan perhatiannya pada bahasa dan mencoba
menganalisa pernyataan-pernyataan (konsep-konsep, ungkapan-ungkapan kebahasaan,
atau bentuk-bentuk yang logis) supaya menemukan bentuk-bentuk yang paling logis
dan singkat yang cocok dengan fakta-fakta atau makna-makna yang disajikan. Yang
pokok bagi filsafat analitik adalah pembentukan definisi baik yang linguistik
atau nonlinguistik nyata atau yang konstektual.
Filsafat
analitik sendiri, secara umum, hendak mengklarifikasi makna dari penyataan dan
konsep dengan menggunakan analisis bahasa.
Bilamana dikaji
perkembangan filsafat setidaknya terdapat empat fase perkembangan pemikiran
filsafat, sejak munculnya pemikiran yang pertama sampai dewasa ini, yang
menghiasi panggung sejarah umat manusia.[5]
Pertama, kosmosentris yaitu
fase pemikiran filsafat yang meletakkan alam sebagai objek pemikiran dan wacana
filsafat, yaitu yang terjadi pada zaman kuno.
Kedua, teosentris yaitu
fase pemikiran filsafat yang meletakkan Tuhan sebagai pusat pembahasan
filsafat, yang berkembang pada zaman abad pertengahan.
Ketiga, antroposentris yaitu
fase pemikiran filsafat yang meletakkan manusia sebagai objek wacana filsafat,
hal ini terjadi dan berkembang pada zaman modern.
Keempat, logosentris yaitu fase
perkembangan pemikiran filsafat yang meletakkan bahasa sebagai pusat perhatian
pemikiran filsafat dan hal ini berkembang setelah abad modern sampai sekarang.
Fase perkembangan terakhir ini ditandai dengan aksentuasi filosof pada bahasa
yang disadarinya bahwa bahasa merupakan wahana pengungkapan peradaban manusia
yang sangat kompleks itu.
Perhatian
filsafat terhadap bahasa sebenarnya telah berlangsung lama, bahkan sejak zaman
Pra Sokrates, yaitu ketika Herakleitos membahas tentang hakikat segala sesuatu
termasuk alam semesta.
Bahkan
Aristoteles menyebutnya sebagai “para fisiologis kuno” atau ‘hoi
arkhaioi physiologoi’. Seluruh minat herakleitos terpusatkan pada dunia
fenomenal. Ia tidak setuju bahwa di atas dunia fenomenal ini, terdapat ‘dunia
menjadi’ namun ada dunia yang lebih tinggi, dunia idea, dunia kekal yang berisi
‘ada’ yang murni.
Meskipun begitu
ia tidak puas hanya dengan fakta perubahan saja, ia mencari prinsip perubahan.
Menurut Herakleitos, prinsip perubahan ini tidak dapat ditemukan dalam benda
material. Petunjuk ke arah tafsiran yang tepat terhadap tata kosmis bukanlah
dunia material melainkan dunia manusiawi, dan dalam dunia manusiawi ini
kemampuan bicara menduduki tempat yang sentral.
Dalam
pengertian inilah maka medium Herakleitos bahwa “kata” (logos) bukan
semata-mata gejala antropologi. Kata tidak hanya mengandung kebenaran
universal. Bahkan Herakleitos mengatakan “jangan dengar aku”, “dengarlah pada
sang kata dan akuilah bahwa semua benda itu satu”.[6] Demikian
sehingga pemikiran Yunani awal bergeser dari filsafat alam kepada filsafat
bahasa yang meletakkan sebagai objek kajian filsafat.
Filsafat bahasa
mulai berkembang pada abad ke XX dengan telaah analitik filosofi Wittgenstein
tentang bahasa. Noam Chomskylah yang pertama-tama mengangkat bahasa sebagai
disiplin linguistik. Grice dan Quinelah yang mengangkat meaning sebagai
intensionalitas si pembicara dan meaning dalam konteks kejadiannya.
Davidson lebih
lanjut mengetengahkan tentang struktur semantik, untuk memahami bahasa,
termasuk unsur-unsurnya dan mengembangkan tentang interpretasi yang dapat
berbeda antara si pembicara dan yang dibicarakan. Frege lebih lanjut
mengembangkan konsep tentang referensi. Ekspresi bahasa bukan hanya
representasi of mine, tetapi juga mengandung referensi, yaitu
hal-hal yang relevan dengan pernyataan yang ditampilkan.[7]
Filsafat abad
modern memberikan dasar-dasar yang kokoh terhadap timbulnya filsafat analitika
bahasa. Peranan rasio, indra, dan intuisi manusia sangat menentukan dalam
pengenalan pengetahuan manusia. Oleh karena itu aliran rasionalisme yang
menekankan otoritas akal, aliran empirisme yang menekankan peranan pengalaman
indera dalam pengenalan pengetahuan manusia serta aliran imaterialisme dan
kritisme Immanuel Kant menjadi sangat penting sekali pengaruhnya terhadap
tumbuhnya filsafat analitika bahasa terutama dalam pengungkapan realitas segala
sesuatu melalui ungkapan bahasa.
Lebih lanjut
lagi, yakni pembahasan mengenai perkembangan Filsafat Analitik Bahasa, mengatakan
bahasa adalah alat yang paling utama bagi seorang filsuf serta merupakan media
untuk analisis dan refleksi.
Oleh karena itu
bahasa sangat sensitif terhadap kekaburan serta kelemahan-kelemahan lainnya,
sehingga banyak filsuf menaruh perhatian untuk menyempurnakannya. Hal ini
terutama dengan timbulnya aliran filsafat analitika bahasa yang memandang bahwa
problema-problema filosofis akan menjadi terjelaskan menekala menggunakan
analisis terminologi gramatika, bahkan kalangan filsuf analitika bahasa menyadari
banyak ungkapan-ungkapan filsafat yang sama sekali tidak menjelaskan apa-apa.
Berdasarkan hal
tersebut maka banyak kalangan filsuf terutama para tokoh filsafat analitika
bahasa menyatakan bahwa tugas utama filsafat adalah analisis konsep-konsep.
Sebagaimana
kita ketahui misalnya banyak filsuf yang mengetengahkan konsepnya melalui
analitika bahasa, misalnya ‘apakah keadilan itu’, ‘apakah yang dimaksud dengan
kebenaran’, ‘apakah yang dimaksud dengan kebaikan’ dan lain sebagainya.
Kegiatan yang semacam itu merupakan suatu permulaan dari suatu usaha pokok
filsafat untuk mendapatkan kebenaran hakiki tentang segala sesuatu termasuk
manusia sendiri.
Namun demikian
kegiatan para filsuf semacam itu dewasa ini dianggap tidak mencukupi karena
tidak didukung dengan pengamatan dan pembuktian yang memadai untuk mendapatkan
kesimpulan yang kuat. Oleh karena itu untuk menjawab pertanyaan yang
fundamental tentang hakikat segala sesuatu para filsuf berupaya untuk
memberikan suatu argumentasi yang didukung dengan analisis bahasa yang memenuhi
syarat-syarat logis.
Untuk itu
terdapat tiga cara untuk memformulasikan problema filsafat secara analitis
misalnya masalah sebab-akibat, kebenaran, pengetahuan ataupun kewajiban moral,
misalnya tentang hakikat pengetahuan sebagai berikut:[8]
1. Kita menyelidiki pengetahuan itu.
2. Kita menganalisis konsep pengetahuan itu.
3. Kita ingin membuat eksplisit kebenaran
pengetahuan itu.
Untuk pemecahan yang pertama mustahil dapat
dilaksanakan karena seakan-akan filsafat itu mencari dan meneliti suatu entitas
(keberadaan) sesuatu yang disebut pengetahuan berada bebas dari pikiran
manusia. Untuk yang kedua itu juga menyesatkan karena seakan-akan tugas
filsafat untuk memeriksa, meneliti dan mengamati sesuatu yang disebut
pengetahuan. Kemudian menentukan bagian-bagiannya, menentukan
hubungan-hubungannya hingga menjadi suatu konsep yang disebut pengetahuan.
Kiranya hanya kemungkinan alternatif yang ketiga saja yang layak dilakukan oleh
filsafat, yaitu bahwa tugas utama filsafat adalah analisis konsep-konsep tersebut
senantiasa melalui bahasa.[9]
B.
Tokoh-Tokoh Filsafat Analitik Bahasa.
Sebenarnya
banyak sekali tokoh Filsafat Bahasa yang sangat berpengaruh pemikirannya
terhadap perkembangan Filsafat Bahasa itu sendiri, mulai dari kemunculannya
sampai zaman sekarang. Namun karena beberapa hal, pemakalah hanya mencantumkan
tiga tokoh Filsafat Analitik Bahasa yang dirasa sangat penting untuk dibahas.
Diantaranya adalah Gottlob Frege, Bertrand Russell, dan Ludwig Wittgenstein.
Untuk lebih jelasnya, berikut pemparan mengenai para tokoh yang sudah
disebutkan diatas:
1.
Gottlob Frege.
Para filosof analitik berpendapat bahwa filsuf
Jerman, Gottlob Frege (1848-1925), adalah filosof terpenting setelah Immanuel Kant.
Frege hendak merumuskan logika yang rigorus sebagai metode berfilsafatnya.
Dengan kata lain, filsafat itu sendiri pada intinya adalah logika.[10]
Dalam hal ini, ia dipengaruhi filsafat
analitik, filsafat-logika, dan filsafat bahasa. Frege berpendapat bahwa dasar
yang kokoh bagi matematika dapat ‘diamankan’ melalui logika dan analisis yang
ketat terhadap logika dasar kalimat-kalimat. Cara itu juga bisa menentukan
tingkat kebenaran suatu pernyataan.
Akar-akar analisis linguistik ditanam di lahan
yang disiangi oleh seorang matematikawan bernama G. Frege, ia memulai sebuah
revolusi logika (analitik), yang implikasinya masih dalam proses penanganan
oleh filosof-filosof kontemporer. Ia menganggap bahwa logika sebetulnya bisa
direduksi ke dalam matematika, dan yakin bahwa bukti-bukti harus selalu
dikemukakan dalam bentuk langkah-langkah deduktif yang diungkapkan dengan
gamblang.[11]
Salah satu idenya yang paling berpengaruh
adalah membuat perbedaan antara “arti” (sense) proposisi dan “acuan” (reference)-nya,
dengan mengetengahkan bahwa proposisi memiliki makna hanya apabila mempunyai
arti dan acuan.
Frege juga menyusun notasi baru yang
memunkinkan terekpresikannya “penentu kuantitas” (kata-kata seperti “semua”,
“beberapa” dan sebagainya) dalam bentuk simbol-simbol. Ia berharap para filosof
bisa menggunakan notasi ini untuk menyempurnakan bentuk logis argumen mereka,
sehingga memungkinkan mereka untuk jauh lebih dekat, daripada waktu-waktu
sebelumnya, dengan ide pembuatan filsafat menjadi ilmu yang ketat.[12]
2.
Bertrand Russell.
Bertrand Russel (1872-1970) lahir dari
keluarga bangsawan. Pada umur 2 dan 4 tahun berturut-turut ia kehilangan ibu
dan ayahnya. Ia dibesarkan di rumah orang tua ayahnya.[13]
Di Cambrige, ia belajar ilmu pasti dan
filsafat, antara lain pada A. Whitehead. Kita sudah mendengar bahwa George
Moore termasuk sahabatnya. Selama hidupnya yang amat panjang, ia menulis banyak
sekali buku. Sekitar 71 buku dan brosur tentang berbagai pokok, antara lain
filsafat, masalah-masalah moral, pendidikan, sejarah, agama, dan politik.
Pada tahun 1950 ia memperoleh hadiah Nobel
bidang sastra. Namanya menjadi masyhur di seluruh dunia terutama karena
pendapat-pendapatnya yang nonkonformistis tentang moral dan politik. Dari sudut
ilmiah jasanya yang terbesar terdapat di bidang logika Matematis.
Pemikiran filosofis Bertrand Russell
yaitu ia mencoba menggabungkan logika Frege tersebut dengan empirisme yang
sebelumnya telah dirumuskan oleh David Hume. Bagi Russell, dunia terdiri dari
fakta-fakta atomis (atomic facts). Dalam konteks ini, kalimat-kalimat
barulah bisa disebut sebagai kalimat bermakna, jika kalimat tersebut
berkorespondensi langsung dengan fakta-fakta atomik. Ludwig Wittgenstein
(1889-1951) juga nantinya banyak dipengaruhi oleh Russell. Dia sendiri
mempengaruhi Lingkaran Wina dan membantu membentuk aliran positivisme logis
pada dekade 1920-1930 an.[14]
3.
Ludwig Wittgenstein.[15]
Ludwig Wittgenstein dilahirkan di Wina
(Austria) pada tanggal 26 April 1889 sebagai anak bungsu dari delapan anak.
Ayahnya berasal dari famili Yahudi yang telah memeluk agama Kristen Protestan
dan ibunya beragama Katolik. Ayahnya seorang insinyur yang dalam jangka waktu
sepuluh tahun berhasil menjadi pemimpin suatu industri baja yang besar.
Pada Tahun 1906 Wittgenstein mulai belajar di
suatu Sekolah Tinggi Teknik di Berlin. Setelah itu Ia pindah ke Inggris dan
melakukan penyelidikan tentang aeronautical selama tiga tahun. Karena tertarik
kepada buku Principles of Mathematics tulisan Bertrand Russell, ia
pergi ke Cambridge untuk belajar kepada Russell, ia mendapat kemajuan pesat
dalam studi tentang logika.
Setelah perang dunia I meletus, ia bergabung
dengan tentara Austria sebagai sukarelawan dan ditawan oleh tentara Italia pada
tahun 1918. Setelah dibebaskan ia mengajar di sekolah, tetapi pada tahun 1929,
ia kembali ke Cambridge untuk berkecimpung dalam filsafat. Pada tahun 1939 ia
mengganti G.E. Moore sebagai guru besar fislafat di Cambridge University,
Inggris. Karyanya merupakan faktor penting dalam timbulnya aliran-aliran Logical
Positivism, Linguistic Analysis dan semantics.
C.
Aliran-Aliran Filsafat Analitik Bahasa.
Analitika bahasa adalah suatu metode yang khas
dalam filsafat untuk menjelaskan, menguraikan dan menguji kebenaran
ungkapan-ungkapan filosofis. Secara historis tradisi ini sebenarnya telah
berkembang sejak lama bahkan sejak zaman pra Sokrates.
Namun demikian, lalu istilah itu menjadi
populer dan berkembang pada abad XX terutama di Inggris khususnya dan Eropa
pada umumnya. Perkembangan filsafat analitika bahasa itu memang tidak dapat
dijelaskan begitu saja. Terpisahkan dari aliran-aliran yang berkembang sebelumnya
seperti aliran rasionalisme. Idealisme, empirisme, imaterialisme dan aliran
postivisme.[16]
Atas dasar kenyataan historis yang demikian
inilah maka filsafat analitika bahasa menjadi sangat sulit sekali untuk
dibatasi berdasarkan wilayah perkembangannya. Oleh karena itu akan menjadi
lebih memadai bilamana uraian perkembangan filsafat analitika bahasa itu
difokuskan pada perkembangan berdasarkan aliran-aliran.
Terlebih lagi terdapat banyak filsuf yang
memiliki kebiasaan melanglang jagad, pindah dari negara satu ke negara lainnya
misalnya Bertrand Russell, Wittgenstein dan tokoh lainnya. Demikian juga
terdapat suatu aliran yang berkembang di Eropa akan tetapi pusatnya di Wina
sehingga aliran tersebut juga disebut ‘Mazhab Wina’ atau ‘kring Wina’. Selain
itu setelah perkembangan filsafat bahasa biasa, pengaruhnya meliputi berbagai
negara di Eropa maupun Amerika.[17]
Pada dasarnya perkembangan filsafat analitika
bahasa itu meliputi tiga aliran yang pokok yaitu ‘atomisme logis’
(logical atomism), ‘positivisme logis’ (logical positivism), atau
kadang disebut juga ‘empirisme logis’ (logical empirism), dan‘filsafat
bahasa biasa’ (ordinary language philosophy), berikut penjelasannya:
Atomisme Logis, dalam perkembangan pemikiran filsafat di
Iggris, permulaan abad XX, muncullah suatu perkembangan pemikiran baru yang
oleh para ahli sejarah filsafat disebut sebagai suatu perubahan yang radikal
atau sebagai suatu ‘revolusi’. Perkembangan baru ini membawa perubahan dalam
gaya, arah dan corak pemikirannya. Pusat dari gerakan pemikiran filsafat yang
baru ini adalah di Cambridge Inggris yang dirintis oleh G.E. Moore (1873-1958).
Dan sebagai tokoh utamanya yaitu Bertrand Russell (1872-1970) dan Ludwig
Wittgestein (1889-1951).[18]
Bertrand Russell sendiri sebenarnya sebagai
seorang penganut empirisme yang mengikuti jejak John Locke dan David Hume,
sehingga konsep filosofisnya nampak adanya garis-garis filsafat empirisme. Nama
‘Atomisme logis’ yang dipilih oleh Bertrand Russell menunjukkan adanya pengaruh
dari David Hume dalam suatu karyanya yang berjudul ‘An Enguiry
Concerning Human Understanding’.[19]
Struktur pemikiran atomisme logis diilhami oleh
konsep Hume tentang susunan ide-ide dalam pengenalan manusia. Menurut Hume
semua ide yang kompleks itu terdiri atas ide-ide yang sederhana atau ide yang
atomis (atomic ideas) yang merupakan ide yang terkecil.
Hume percaya bahwa filsuf itu hendaknya
melaksanakan analisis fisikologis terhadap ide. Dalam kaitan ini Bertrand
Russell menolak atomisme fisikologisnya David Hume dan analisis itu bukannya pada
aspek fisikologis namun dilakukan terhadap proposisi-proposisi. Atas dasar
inilah Bertrand Russell memilih nama atomisme logis dari pada realisme.[20]
Walaupun pemikiran atomisme logis yang
dikembangkan oleh Bertrand Russell dipengaruhi oleh empirisme terutama John
Locke dan David Hume, namun dalam kenyataannya tradisi idealispun juga
memberikan garis dan warna dalam pemikirannya.[21]
Pengaruh pemikiran idealisme tersebut antara
lain dari F.H. Bradley dan pemikiran analitis G.E. Moore. F.H. Bredly mempengaruhi
bidang formulasi logika proposisi sedangkan G.E. Moore memberikan tekanan pada
ciri analisisnya. Demikianlah dalam kenyataannya munculnya pemikiran baru
atomisme logis di Inggris tidak dapat dipisahkan dengan para tokoh yang
mempengaruhi dan memberikan sumbangan kepada atomisme logis.
Positivisme Logis, pada tahun 1922
berkembanglah suatu gerakan filsafat baru yang dirintis oleh seorang fisikus
sekaligus seorang filsuf bernama Moritz Schlik (1882-1936). Gerakan filsafat
baru ini berpusat di Wina, yaitu suatu kota yang sekaligus sebagai pusat
kelompok ilmuwan yang terkenal dengan nama Vienna Circle atau
dikenal juga mazhab Wina (Kring Wina).[22]
Anggota-anggota lingkungan Wina ini antara
lain: Kurt Goedel, seorang ahli matematika, Hans Hahn juga seorang ahli
matematika, Karl Menger ahli matematika, Philip Frank seorang ahli fisika,
Rudolf Carnap ahli matematika dan fisika, serta beberapa mahasiswa antara lain,
Friederich Wismann dan Herbert Feigl.
Aliran ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran
filsafat Ludwig Wittgenstein, walaupun pengaruhnya bersifat langsung dan
sebenarnya Wittgenstein sendiri tidak ikut aktif dalam kelompok Wina tersebut.
Melalui suatu karangan kecil yang disusun oleh Neurath, Hans Hahn dan Rudolf
Carnap mengeluarkan suatu deklarasi ilmiah dalam suatu Konggres Internasional
pertama dengan judul Wissenschaftliche Weltauffasung: der Wiener Kreis (pandangan
dunia yang bersifat alamiah: Lingkungan Wina). Pandangan ini menguraikan
tentang pendirian filosofis kelompok lingkungan Wina yang sangat diwarnai oleh
ilmu-ilmu pengetahuan positif. Aliran ini sangat dipengaruhi oleh tradisi
empirisme yang melanjutkan garis tegas pada leluhurnya yaitu David Hume, John
Stuart Mill dan Ernest Mach.[23]
Berdasarkan nama yang dipopulerkannya aliran
ini juga mendapat positivisme. Beberapa kali diusulkan nama empirisme logis dan
oleh karena nama tersebut lazim digunakan oleh aliran filsafat yang berkembang
di Amerika, Inggris dan Skandinavia. Oleh karena itu aliran tersebut disepakati
dengan nama ‘neopositivisme’ atau populer dikenal dengan nama ‘positivisme
logis’.
Positivisme logis menerima pandangan-pandangan
filosofis dari atomisme logis tentang logika dan cara atau teknik analisisnya
namun demikian positivisme logis menolak metafisika atomisme logis. Positivisme
logis menggunakan teknik analisis untuk dua macam tujuan:[24]
Pertama: bertujuan
untuk menghilangkan metafisika. Ungakapan-ungkapan metafisis itu ditolak oleh
kaum positivisme logis bukan karena bersifat emotive, melainkan pada dirinya
sendiri tak dapat ditolak, namun karena berpura-pura sebagai ungkapan atau hal
yang bersifat kognotif. Oleh karena itu ungkapan-ungkapan metafisis itu pada
hakikatnya tidak menyatakan apa-apa sehingga bersifat ‘nirarti’ atau tidak
bermakna.
Analisis logis dengan demikian memberi
keputusan dan menyatakan arti pada setiap apa yang disebut pengetahuan yang
berpura-pura melampaui batas-batas pengalaman. Keputusan ini pertama-tama
mengenai pada metafisika yang spekulatif, apa yang dimaksud dengan pengetahuan
yang berasal dari pemikiran murni, atau oleh intuisi murni yang berpura-pura
dapat dilakukan tanpa pengalaman.
Penekanan pada pengalaman menunjukkan aspek
empirisme yang kuat dalam positivisme logis. Oleh karena itulah maka
positivisme sering disebut empirisme logis. Penolakan terhadap metafisika oleh
positivisme logis tidak boleh diartikan bahwa positivisme logis itu menolak
atau mengingkari kebenaran dunia luar atau dunia yang transenden, melainkan
bahwa pernyataan-pernyataan metafisika itu nirarti tidaklah berarti suatu pengingkaran
atasnya.
Jadi kaum positivisme logis atau empirisme
logis itu tidak menyatakan bahwa apa yang dikatakan oleh kaum metafisika itu
salah, akan tetapi bahwa apa yang dikatakan kaum metafisika itu tidak
menyatakan sesuatu sama sekali. Positivisme logis tidak melawan metafisika,
hanya dinyatakannya bahwa apa yang dikatakan oleh kaum metafisika itu tidak
dapat dipahami, atau tidak menyatakan sesuatu sama sekali.
Kedua, positivisme
logis menggunakan teknik analisis demi penjelasan bahasa ilmiah dan bukan untuk
menganalisis pernyataan-pernyataan fakta ilmiah. Sebab dengan analisis
filsafati kita tak dapat menentukan apakah sesuatu itu nyata (real), tetapi
hanya apa artinya apabila kita menyatakan bahwa sesuatu itu nyata.
Demikian juga apakah hal itu memang demikian
atau tidak, hal itu hanya dapat diputuskan melalui metode umumnya dalam
kehidupan sehari-hari dan dari ilmu pengetahuan, yaitu melalui pengalaman. Jadi
menurut positivisme logis tugas filsafat itu memperhatikan analisis-analisis
dan penjelasan tentang pernyataan-pernyataan dan proposisi-proposisi terutama
dari ilmu pengetahuan.
Filsafat Bahasa Biasa (The Ordinary Language
Philosophy), berkembangnya konsep pemikiran filsafat
analitik sebagai reaksi ketidak puasan dunia pemikiran filsafat pada saat itu
yang didominasi oleh tradisi idealisme terutama kalangan teolog, yang sangat
mengagungkan pentingnya metafisika. Para tokoh filsafat analitika bahasa
menyadari bahwa dalam kenyataannya banyak problem-problem filsafat dapat
diselesaikan melalui analisis bahasa.[25]
Oleh karena itu bahasa merupakan pusat
perhatian kalangan filsuf analitika. Ungkapan-ungkapan metafisika mendapat
perhatian yang serius bahkan pada aliran atomisme logis dan positivisme logis
ingin membersihkan filsafat dari metafisika. Untuk itu mereka memilih proyek
yang spektakuler dan sangat ambisius yaitu ingin mewujudkan suatu bahasa yang
ideal, yaitu bahasa yang memiliki struktur logika yang sesuai dengan struktur
logika dari realitas dunia.
Dalam masalah ini Wittgenstein dalam karyanya Tractatus
Logico Philosophicus merupakan karya yang besar yang menekankan tentang
logika bahasa. Para tokoh filsafat analitika bahasa memusatkan perhatian pada
aspek semantik bahasa, sehingga melalui kategori-kategori logika mereka
menentukan bahasa yang bermakna atau bahasa yang tidak bermakna.[26]
Mereka dengan keyakinan yang kuat menyatakan
bahwa berdasarkan logika bahasa ungkapan-ungkapan metafisika dari kalangan
penganut idealisme terutama bidang teologi, etika, aksiologi, estetika dan
terutama ontologi pada hakikatnya tidak bermakna. Ungkapan-ungkapan metafisika
itu sebenarnya tidak mengungkapkan realitas empirik, oleh karena itu
ungkapan-ungkapan tersebut sebenarnya adalah nirarti atau sama sekali tidak
bermakna.
Reaksi yang sangat radikal dari kalangan
atomisme logis dan prinsip verifikasi positivisme logis tersebut memang sempat
menggemparkan dunia pemikiran filsafat di Eropa terutama di Inggris, bahkan
Ludwig Wittgenstein sendiri mendapat gelar doktornya karena karyanya Tractatus
Logico Philosophicus. Begitu juga gurunya Bertrand Russell yang dengan
tegas menyatakan bahwa ungkapan-ungkapan bahasa metafisika pada hakikatnya
adalah omong kosong belaka, karena sama sekali tidak melukiskan suatu realitas
dunia, dan tidak melukiskan suatu kebenaran peristiwa secara empiris.
Namun dengan dasar-dasar yang kuat para tokoh
filsafat analitik yang mendasarkan aspek semantik bahasa melalui struktur
logika, mereka lupa bahwa aspek semantik sendiri memiliki sifat metafisis karena
tidak dapat diamati dengan indra manusia.
Tidak dapat disangkal lagi bahwa dalam filsafat
atomisme logis sendiri terkandung suatu prinsip metafisika. Hal ini sebagaimana
diakui sendiri oleh Russell yaitu bahwa teori atomisme logis ingin menjelaskan
suatu struktur hakiki bahasa yang sepadan dengan dunia, atau dengan lain
perkataan teori ini ingin mengungkapkan bahwa bagaimana akhirnya dunia diasalkan
kepada fakta-fakta atomis.
Hal yang demikian ini jelas merupakan suatu
pendapat yang bersifat metafisis. Bahkan sebagaimana kita ketahui bahwa pemikiran
Russell itu sama sekali tidak berdasarkan pada data-data empiris, melainkan
berasal dari suatu analisis melalui bahasa. Dengan demikian nampak jelas bagi
kita bahwa metafisika yang terkandung dalam teori Russell itu merupakan
suatu pluralisme radikal, dalam sejarah filsafat analitika bahasa.[27]
Begitu juga pemikiran Wittgenstein
melalui Tractatus yang mendasarkan pada aspek semantik bahasa
dengan menekankan struktur logika dalam kenyataannya juga terkandung di
dalamnya dasar-dasar metafisika. Formulasi logika bahasa menemui berbagai macam
keterbatasan dan kesulitan, sehingga ia sendiri menyatakan bahwa setiap orang
yang membaca Tractatus akhirnya akan sampai pada suatu titik
di mana dia akan mengerti bahwa ungkapan-ungkapan bahasa dalam Tractatus sebenarnya
tidak bermakna. Hal itu dikatakan oleh Wittgenstein dianalogkan seperti orang
yang memanjat melalui tangga dan setelah sampai pada tujuan maka tangga
tersebut dibuangnya.[28]
BAB III
KESIMPULAN
Filsafat analitik adalah suatu gerakan filosof
Abad ke 20, khususnya di Inggris dan Amerika Serikat yang memusatkan
perhatiannya pada bahasa dan mencoba menganalisa pernyataan-pernyataan
(konsep-konsep, ungkapan-ungkapan kebahasaan atau bentuk-bentuk yang logis)
supaya menemukan bentuk-bentuk yang paling logis dan singkat yang cocok dengan
fakta-fakta atau makna-makna yang disajikan. Perhatian filsafat terhadap bahasa
sebenarnya telah berlangsung lama, bahkan sejak zaman Pra Sokrates, akan tetapi
filsafat bahasa tersebut menjadi populer pada abad ke XX dengan telaah analitik
filosofik Wittgenstein tentang bahasa.
Adapun tokoh-tokoh yang melahirkan filsafat
analitik sebagai berikut: Gottlob Frege, dengan merumuskan logika
yang rigorus sebagai metode berfilsafatnya. Dengan kata lain,
filsafat itu sendiri pada intinya adalah logika. Beltrand Russell,
dengan pemikirannya yaitu ia mencoba menggabungkan logika Frege tersebut dengan
empirisme yang sebelumnya telah dirumuskan oleh David Hume. Dan Ludwig
Wittgeinsten, dengan karyanya yang merupakan faktor penting dalam timbulnya
aliran-aliran Logical Positivism, Linguistic Analysis dan semantics..
Aliran-aliran analitik bahasa yang pertama
adalah atomisme logis, yang kedua positivisme logis dan yang
ketiga filsafat bahasa biasa (the ordinary language philosophy).
DAFTAR PUSTAKA
Bertens, K. 1975. Sejarah Filsafat
Yunani. Jakarta: Kanisius.
Bertens, K. 1981. Filsafat Barat dalam
Abad XX. Jakarta: Gramedia.
[1]http://pasaronlineforall.blogspot.com/2010/12/peranan-filsafat-analitika-bahasa-dalam_24html, diakses pada
tanggal 29 September 2015.
[4]http://pasaronlineforall.blogspot.com/2010/12/peranan-filsafat-analitika-bahasa-dalam_24html, diakses pada
tanggal 29 September 2015.
[6]http://rezaantonius.wordpress.com/2008/02/24/filsafat-analitik, diakses pada
tanggal 30 September 2015, pukul 15.50 WIB.
[9]http://pasaronlineforall.blogspot.com/2010/12/peranan-filsafat-analitika-bahasa-dalam_24html, diakses pada
tanggal 29 September 2015.
[11] Ibid,
hal. 97.
[12] Ibid,
hal. 98.
[13]http://pasaronlineforall.blogspot.com/2010/12/peranan-filsafat-analitika-bahasa-dalam_24html, diakses pada
tanggal 29 September 2015.
[15] Ibid,
hal. 111.
[16]http://rezaantonius.wordpress.com/2008/02/24/filsafat-analitik, diakses pada
tanggal 30 September 2015, pukul 15.50 WIB.
[17]http://pasaronlineforall.blogspot.com/2010/12/peranan-filsafat-analitika-bahasa-dalam_24html, diakses pada
tanggal 29 September 2015.
[19] Ibid,
hal. 112.
[21] Ibid,
hal. 121.
[22]http://pasaronlineforall.blogspot.com/2010/12/peranan-filsafat-analitika-bahasa-dalam_24html, diakses pada
tanggal 29 September 2015.
[24]http://rezaantonius.wordpress.com/2008/02/24/filsafat-analitik, diakses pada
tanggal 30 September 2015, pukul 15.50 WIB.
[25] http://pasaronlineforall.blogspot.com/2010/12/peranan-filsafat-analitika-bahasa-dalam_24html, diakses pada
tanggal 29 September 2015.
[28] Ibid,
hal. 121.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar