Sabtu, 06 Agustus 2016

Pengaruh Budaya Hedonis di Kalangan Mahasiswa



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.
Dalam sejarah filsafat terdapat banyak sistem etika, yang artinya banyak uraian sistematis yang berbeda – beda tentang hakikat moralitas dan peranannya dalam kehidupan manusia. Dalam bab ini kami tidak bermaksud membahas seluruh sejarah pemikiran moral.
Kami sengaja membatasi diri dengan hanya memperkenalkan beberapa pandangan tentang macam kesusilaan didunia atau etika yang pernah dikemukakan dan berpengaruh terus sampai sekarang. Etika (kesusilaan) dipandang sebagai suatu ilmu dapat dipakai untuk menanggapi atau menilai tentang pandangan hidup semua orang.
Didalam makalah revisi ini, pemakalah akan mencoba menjelaskan sedikit tentang tema yang berjudul “ MACAM – MACAM KESUSILAAN DIDUNIA ”. dengan harapan yang besar, kita semua menjadi tahu akan pandangan etika (kesusilaan) yang mungkin masih bisa kita rasakan sampai saat ini. Sehingga kita dapat mempertimbangkan setiap dampak yang mungkin akan sampai kepada kita semua.
B.     Rumusan Masalah.
1.      Bagaimanakah pandangan paham Hedonisme tentang baik dan buruk serta masalah apa sajakah yang ditimbulkan akibat paham ini ?
2.      Bagaimanakah perkembangan yang terjadi terhadap paham Eudomonisme dan masalah apa yang ditimbulkannya ?
3.      Apa sajakah yang terjadi saat kemunculan aliran Stoisisme dan apa saja masalah yang ditimbulkan ?
4.      Bagaimana pandangan paham Utilisme dalam menilai kebijakan publik yang memberi dampak baik bagi orang banyak secara moral dan masalah yang mungkin dapat timbul karena pandangan ini ?
C.    Tujuan Masalah.
1.      Untuk mengetahui banyak atau sedikit tentang paham Hedonisme yang terkenal dengan para pencari kebahagiaan dan menjahui segala hal yang mungkin menimbulkan kesengsaraan, yang mungkin masih dapat kita rasakan hingga sekarang.
2.      Karena dengan mengetahui perkembangan yang terjadi pada paham Eudomonisme ini, maka kita akan tahu apakah paham ini masih berkembang sampai saat ini atau tidak, serta kita akan mengetahui apasaja yang mungkin terjadi saat paham ini mulai berkembang pada masa sekarang.
3.      Untuk mengetahui kejadian yang terjadi pada masa lampau tentang paham Stoisisme, yang mungkin dapat disimpulkan bahwa manusia harus menemukan kebahagiaan serta kedamaian dalam dirinya sendiri.
4.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan paham Utilisme mengenai kemanfaatan yang berasal dari diri sendiri maupun dari orang lain serta dari alam sekitarnya. Yang mungkin dari kemanfaatan tersebut dapat menimbulkan sesuatu yang masih kita rasakan sampai sekarang.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Paham Hedonisme Serta Permasalahannya.
Di dunia ini ada beberapa macam kesusilaan, diantaranya adalah Hedonisme. Hedonisme atau yang lebih sering disebut dengan sebutan kaum hedon adalah paham sebuah aliran filsafat dari Yunani. Hedonisme berangkat dari pendirian bahwa menurut kodratnya manusia mengusahakan kenikmatan atau kesenangan.[1] Paham aliran ini mempunyai sebuah tujuan, yaitu mencari kebahagiaan sebanyak – banyaknya dan menjahui segala macam kesengsaraan yang mungkin akan terjadi. Dan semua yang ada di dunia ini pasti tak luput akan tanggapan positif maupun negatif. Demikian juga dengan paham ini. Paham ini juga tak luput dari persepsi orang sebagai paham positif maupun paham negatif. Pada saat itu, hedonisme bertolak dari pendirian, bahwa menurut kodratnya manusia mengusahakan kenikmatan, yang dalam bahasa Yunaninya di sebut hedonisme”.[2]
Etika hedonisme dalam buku – buku etika masuk dalam telologis (dari kata Yunani telos yang artinya tujuan, dan logos yang artinya kata atau fikiran), terarah pada tujuan. Etika hedonisme, biasanya dimasukkan kekelompok teori – teori egoisme etis, karena mengusahakan kebahagiaan bagi orang yang bertindak itu sendiri (individualistik). Karena berbicara tentang tindakan baik dan buruk, etika hedonisme juga masuk dalam teori etika normative.[3]
Kala itu, Hedonisme masih mempunyai arti positif, karena dalam perkembangannya, paham ini hanya mencari kebahagiaan yang berefek panjang tanpa disertai penderitaan.[4] Dan secara negatif, paham ini terungkap ketika dalam sikap menghindari rasa sakit.[5]
Hedonisme menurut Pospoprodijo, mengungkapkan bahwa kesenangan (kenikmatan) adalah tujuan akhir hidup dan yang baik adalah yang tertinggi. Sedangkan menurut Aristoteles dalam kitab karangannya “Russell” (2004:243), yaitu yang berbunyi “kenikmatan berbeda dengan kebahagiaan, sebab tak mungkin ada kebahagiaan tanpa kenikmatan. Ada tiga pandangan tentang kenikmatan : (1) bahwa semua kenikmatan tidak baik; (2) bahwa beberapa kenikmatan baik, namun sebagian besar buruk; (3) bahwa kenikmatan baik, namun bukan yang terbaik”.[6]
Paham ini kemudian menyebar luas dikalangan masyarakat kala itu, dan nampak sebagai sesuatu taraf kehidupan yang wajar dilakukan. Dalam perkembangannya akhirnya muncul dalam keadaan sebuah teori etika. Paham ini tampil secara sangat mencolok ketika saat zaman kuno, yaitu Aristippus, pendiri mazhab Cyrene (lebih kurang 400 SM), dan juga pada Epicurus (341 – 271 SM), tetapi juga dalam zaman yang lebih baru, yaitu pada apa yang dinamakan para penganut paham Utilisme yang nanti akan di bahas secara tersendiri.[7]
Paham aliran Hedonisme diajarkan secara terang – terangan, bahkan diajarkan secara tidak tanggung – tanggung, namun juga sering diajarkan secara terselubung, sehingga hampir – hampir tidak dapat dikenal. Ketika paham aliran ini diajarkan mengenai sifatnya, dan yang paling jelas ialah ketika menyingkapkan sifatnya, bahwa kenikmatan itu sendiri adalah berharga, sehingga dalam hal ini yang dicari bukan sifat kenikmatannya, melainkan semata – mata jumlah kenikmatannya.[8]
Setelah menyadari hal tersebut, maka paham ini mengajarkan bahwa orang harus bersikap bijak dalam menikmati sesuatu, yaitu pertama – tama orang harus mulai dengan mengendalikan hasratnya. Aristippus sendiri mengajarkan : “kenikmatan ada ditanganku, bukan aku yang ada ditangan kenikmatan”.[9]
Dari ajaran Aristippus ini, dapat kita simpulkan bahwasanya, janganlah kita terpaku kepada satu peristiwa saja, akan tetapi fahamilah itu secara menyeluruh, karena yang paling utama ialah hasil terakhir dari suatu kenikmatan. Oleh karena itu, dia mengajarkan pahamnya untuk bisa menahan rasa sakit sebentar yang pada akhirnya dapat merasakan rasa nikmat yang lebih besar.
Akan tetapi dalam contoh kehidupan sehari – hari, manusia selalu menghindari rasa sakit, penderitaan, serta hal – hal yang menyakitkan lainnya. Dan sebaliknya mengejar apa saja yang dapat menimbulkan kesenangan atau kenikmatan. Seseorang dikatakan baik bila perilakunya dibiarkan dan ditentukan oleh suatu pertanyaan, yaitu bagaimana caranya agar dirinya memperoleh kenikmatan yang sebesar – besarnya, dengan besikap seperti itu ia bukan hanya hidup sesuai dengan kodratnya, melainkan juga memenuhi tujuan hidupnya.
Dalam hal ini, “virus hedon” tidak hanya menyerang orang dewasa yang sudah bekerja, bahkan anak – anak sampai orang tuapun juga terjangkit “virus” ini.[10] Anak akan mempunyai kecenderungan Hedonistis, karena akibat kodrat biologis dan belum jalannya daya penalaran, anak harus bergantung kepada orang tua atau kepada orang lain. Bersama dengan berjalannya waktu dan proses sosialisasi, ia akan mulai punya kesadaran dan kemampuan menentukan pilihan. Kemudian setelah ia beranjak dewasa, ia akan sangat antusias terhadap adanya hal baru.
Karena gaya hidup hedonis daya pikatnya sangat menarik bagi mereka, sehingga dalam waktu singkat muncullah fenomena baru akibat paham ini. Fenomena yang muncul, ada kecenderungan untuk lebih memilih hidup enak, mewah, dan serba kecukupan tanpa harus bekerja keras. Tidaklah mengherankan, bisa dikatakan jika saat ini muncul fenomena baru yang muncul di kehidupan kampus. Semisal adanya “ayam kampus” (suatu pelacuran terselubung yang dilakukan oleh beberapa oknum mahasiswi), karena profesi ini dianggap paling enak dan gampang menghasilkan uang untuk memenuhi syarat remaja gaul dan funky.
Oleh karena itu, tidak dapat kita pungkiri bahwa dalam kehidupan hedonisme terkandung kebenaran yang mendalam, yaitu menurut kodratnya mencari kenikmatan dan berupaya agar terhindar dari hal – hal yang menyakitkan. Karena sejak kecil manusia pasti menginginkan kesenangan hidup.
Tapi dari pemaparan diatas, setiap paham pasti mempunyai masalah – masalah yang timbul. Misal, seperti pandangan ini akan menyinggung perasaan seseorang yang sangat peka di bidang kesusilaan. Manusia seakan – akan menjadikan binatang sebagai idaman hatinya, dan dalam hal ini binatang peliharaan yang teramat baik.[11]
Kehidupan seperti ini, dapat menimbulkan iri hati pada manusia yang sarat dengan masalah – masalah yang disadarinya secara berlebihan yang senantiasa terombang – ambing kian kemari antara harapan dengan ketakutan, yang terus menerus dikejar – kejar didalam perjuangan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik.
Disamping keberatan – keberatan praktik dapat juga diajukan keberatan – keberatan psikologik terhadap hedonisme. Tidaklah benar bahwa menurut kodratnya manusia mengusahakan kenikmatan, yang ia usahakan ialah hal – hal yang dapat menimbulkan kenikmatan, seperti juga kebalikannya, bukannya ia menyingkiri rasa sakit, melainkan menyingkiri sesuatu yang dapat menimbulkan rasa sakit.[12]
B.     Perkembangan Paham Eudomonisme dan Permasalahan.
Setelah kemunculan paham hedonisme, muncullah paham baru, yang tak lain ialah paham “eudomonisme”. Kata eudomonisme ini berasal dari bahasa Yunani (eudaimonia) yang secara harfiah berarti : “mempunyai roh pengawal (demon) yang baik, maksudnya mujur dan beruntung”.[13] Dengan demikian yang pertama – tama, hanya menitik beratkan lagi kedalam keadaan batiniyah, dan yang demikian merujuk pada kata “bahagia”.
Seringkali kita mencari suatu tujuan untuk mencapai suatu tujuan lain lagi. Misalnya, ketika sedang sakit kita minum obat untuk bisa tidur dan kita tidur untuk memulihkan kesehatan. Timbullah pertanyaan, apakah ada juga tujuan yang dikejar karena dirinya sendiri dan bukan karena sesuatu yang lain lagi, apakah ada kebaikan terakhir yang tidak dicari demi sesuatu yang lain lagi, apakah ada kebaikan terakhir yang tidak dicari demi sesuatu yang lain lagi. Menurut Aristoteles, semua orang akan menyetujui bahwa tujuan tertinggi ini dalam terminologi modern kita bisa mengatakan : “makna terakhir hidup manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia)”.[14]
Orang yang telah mencapai tingkatan “eudemonia” mempunyai keinsyafan akan kepuasan yang sempurna tidak hanya secara jasmani, melainkan juga secara rohani.[15] Seperti halnya hedonisme, sesungguhnya eudomonisme hendak bertolak dari pengalaman, dan berpendapat bahwa menurut kodratnya manusia mengusahakan kebahagiaan, serta memandang hal tersebut adalah suatu hal yang baik. Dengan demikian paham ini menyatakan kebahagiaan sebagai kebaikan tertinggi.[16]
Eudemonisme merupakan salah satu diantara sistem – sistem etika yang paling tersebar luas. Aristoteles tegas – tegas menetapkan kebahagiaan sebagai tujuan perbuatan manusia. Paham ini dapat mengambil berbagai bentuk, demikian ada juga eudomonisme keagamaan, yang mengajarkan agar manusia mempersatukan diri dengan Tuhan demi kebahagiaan tersebut. Secara bersahaja hal ini terungkap dalam syair pendek guratan pena Van Alphen, yang berbunyi :
Aku seorang putra
Oleh Tuhan dicinta
Dan diciptakan ‘tuk bahagia
Paham ini mempunyai keyakinan, bahwasanya manusia hidup didunia ini untuk bahagia. Dan dalam kenyataannya, paham ini dianut oleh banyak sekali orang.[17] Menurut Aristoteles, semua orang akan menyetujui bahwa tujuan tertinggi ini dalam terminologi modern kita bisa mengatakan kembali seperti pemaparan di atas : “makna terakhir hidup manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia)”.[18]
Ada yang mengatakan, bahwa kesenangan adalah kebahagiaan, ada yang berpendapat, bahwa uang dan kekayaan adalah inti kebahagiaan dan ada pula yang menganggap status sosial atau nama baik sebagai kebahagiaan. Akan tetapi, ada juga yang mengatakan bahwa kita akan merasa bahagia walaupun tidak memiliki harta yang banyak, walaupun kondisi diluar tidak sesuai dengan keinginan kita. Semua itu tidak akan mengganggu, karena kita tidak menempatkan kebahagiaan disana. Karena kebahagiaan yang hakiki terletak didalam diri kita sendiri. Inti kebahagiaan ada pada pikiran kita. Ubahlah cara kita berpikir dan kita akan segera mendapatkan kebahagiaan dan ketentraman batin.
Dalam hal ini, barang siapa yang menjadikan kebahagiaan sebagai tujuan hidupnya, maka seperti halnya kaum hedonis, yaitu menjadikan dirinya tergantung pada keadaan, yang hanya sebagian kecil yang dapat dikuasainya.[19] Disamping itu, ada beberapa kenyataan bahwa mereka yang mencari kebahagiaan justru tidak menemukannya.
Selanjutnya ada hal yang menarik, bahwasanya manusia acap kali tidak hanya mengusahakan kebahagiaan, melainkan jelas – jelas mengusahakan tujuan – tujuan yang sama sekali berlainan, bahkan dengan menderita nestapa. Tetapi juga tidak jarang terjadi, nestapa itu diterimanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup yang sebenarnya.
Paham eudomonisme melupakan bahwa moral mengabaikan adanya hubungan dengan sesama manusia. Paham ini hanya mengenal orang – seorang, dalam hal ini akunya sendiri, dan dengan demikian paling – paling mengenal wajib – wajib terhadap diri sendiri dan dalam kenyataannya lazimnya sesuai dengan egoisme.[20]
C.    Kemunculan Paham Stoisisme dan Permasalahannya.
Salah satu bentuk tertentu dari adanya eudomonisme ialah stoisisme dan juga di anut oleh kaum Stoa.[21] Aliran ini didirikan di Athena oleh Zeno dari Kition (133 – 266 SM).[22] Dalam sikap paham ini, sekali lagi juga merujuk pada kebahagiaan. Tulisan yang terkenal dari kaum Stoa adalah “De Vita Beata” (Mengenai Hidup Dalam Kebahagiaan Surgawi), karya Seneca.[23]
Dr. H. De Vos, dalam buku karangannya yang berjudul “Pengantar Etika” menyimpulkan, “berarti bahwa manusia harus menemukan kebahagiaan serta kedamaian dalam dirinya sendiri. Hal ini hanya dapat terjadi jika ia dalam menghadapi diri sendiri menggunakan akalnya serta menguasai perasaannya sepenuhnya. Pada dasarnya peristiwa – peristiwa lahiriah menimbulkan berbagai perasaan pada diri kita, seperti perasaan takut, sengsara, prihatin, namun juga perasaan gembira dan nikmat. Barang siapa hidup dengan mendasarkan diri pada perasaan, berarti menggantungkan diri pada keadaan – keadaan yang tidak dikuasainya. Berhubungan dengan itu idaman mencukupi diri sendiri atau autarkia hanya dapat dicapai, bila manusia sepenuhnya menguasai perasaannya dan berhasil menindasnya, dengan menggunakan akal sebagai sarananya”.[24]
Seperti dengan kaum Epikurus, kaum Stoa membagi filsafat dalam tiga bagian, yaitu Logika, Fisika, dan Etika. Logika dan Fisika umumnya dipergunakan sebagai dasar etiknya. Etiknya ialah memberi petunjuk tentang sikap sopan santun dalam penghidupan. Menurut pendapat mereka, tujuan yang terutama dari segala filsafat ialah menyempurnakan moral manusia. Berikut sedikit pemaparan tentang pembagian filsafat menurut kaum Stoa, ialah sebagai berikut :
1.         Logika.
Logika menurut kaum Stoa, maksudnya memperoleh kriterium tentang kebenaran. Dalam hal ini mereka mempergunakan juga teori reproduksi dari Demokritus.
2.         Fisika.
Dalam aliran Stoa, masalah fisika tidak saja memberi pelajaran tentang alam, tetapi meliputi juga teologi. Menurut mereka bahwa alam mempunyai dua dasar yaitu yang bekerja dan yang dikerjakan. Yang bekerja ialah Tuhan dan yang dikerjakan ialah materi (makhluk-Nya).
3.         Etik / Etika.
Etik / Etika menurut kaum Stoa adalah untuk mencari dasar – dasar umum untuk bertindak dan hidup yang tepat. Kemudian melaksanakan dasar – dasar itu dalam penghidupan. Kaum Stoa berpendapat, bahwa tujuan hidup yang tertinggi ialah memperoleh harta yang terbesar nilainya, yaitu kesenangan hidup. Kemerdekaan moril seseorang adalah dasar segala etik pada kaum Stoa.
Kemudian setelah ditelaah kembali, paham Stoisisme merupakan bahaya yang dapat meniadakan kepribadian, yang justru hendak dikukuhkannya. Karena mengajarkan agar manusia bersikap pasrah. Sikap pasrah lebih berbahaya dibanding sikap membangkang, karena dalam hal terakhir ini manusia dengan sendirinya dapat menyadari batas – batas kemampuannya, tetapi terutama karena manusia merupakan makhluk yang secara azasi mengatakan “tidak” terhadap kehidupan dan ingin mengubahnya.[25]
Paham ini juga menyebabkan orang mudah menjadi congkak, manusia bijaksana membentuk dirinya sendiri, terlepas dari nasib serta sesama manusia. Dengan demikian ia menyamakan dirimya dengan Tuhan.
D.    Paham Utilisme Terhadap Kebijakan Publik dan Permasalahannya.
Utilisme dijabarkan dari bahasa Latin “utilis”, yang berarti bermanfa’at. Utilisme dikembangkan oleh Jeremy Bentham (1784 - 1832). Dalam ajarannya utilisme itu pada intinya adalah “bagaimana menilai baik atau buruknya kebijaksanaan sospol, ekonomi dan legal secara moral”, yaitu bagaimana menilai kebijakan public yang memberikan dampak baik bagi sebanyak mungkin orang secara moral.[26]
Kaum ini mengatakan bahwa segala sesuatu perbuatan dikatakan baik apabila membawa kemanfaatan, sedangkan dikatakan buruk apabila membawa suatu kemudharatan. Utilisme tampil sebagai sistem etika yang telah berkembang hingga dapat dirasakan sampai saat ini, bahkan juga sebagai pendirian yang agak bersahaja mengenai hidup.
Paham utilisme dapat kita katakan dalam tiga bentuk, yaitu sebagai berikut :
1.         Ukuran baik tidaknya suatu tindakan dilihat dari akibat, konsekuensi, atau tujuan dari tindakan itu, apakah memberi manfaat atau tidak.
2.         Dalam mengukur akibat dari suatu tindakan, satu – satunya parameter yang penting adalah jumlah kebahagiaan atau jumlah ketidak bahagiaan.
3.         Kesejahteraan setiap orang sama pentingnya.[27]
Manfaat merupakan sebuah konsep yang begitu luas sehingga dalam kenyataan malah menimbulkan kesulitan yang tidak sedikit. Karena, manfaat bagi manusia berbeda antara satu orang dengan orang yang lainnya. Sebuah tindakan bisnis bisa sangat menguntungkan dan bermanfaat bagi sekelompok orang, tetapi bisa sangat merugikan bagi kelompok lain.
Bersifat bermanfaat bergema dikalangan manusia yang dalam suatu dunia, yang didalamnya kerja sangat dihargai, dan kerja selalu berarti pemakaian sarana – sarana dan senantiasa membawa serta manusia sebagai sarana, untuk mendapatkan manfaat yang besar dikemudian hari nanti.
Dari dua paham terakhir diatas, yaitu eudemonisme dan stoisisme, paham utilisme ini mendapatkan nama dan pandangan yang lebih baik di masyarakat, karena juga sangat mengesankan dan juga karena bentuk sosialnya yang melihat dari sudut pandang kepentingan orang banyak.
Paham ini mengusahakan, agar setiap perbuatan akan mendatangkan kebahagiaan dari pada penderitaan, manfaat dari pada kesia – siaan, keuntungan dari pada kerugian, bagi sebagian besar orang. Dengan demikian, perbuatan manusia baik secara etis dan membawa dampak sebaik – baiknya bagi diri sendiri dan orang lain.[28]
Adapun kritik dari paham utilisme ini, yaitu di ambil dari pembahasan di atas :
1.         Utilisme hanya menekankan tujuan atau manfaat pada pencapaian kebahagiaan duniawi dan mengabaikan aspek rohani.
2.         Utilisme mengorbankan prinsip keadilan dan hak individu atau minoritas demi keuntungan mayoritas orang banyak.[29]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan.
Hedonisme atau yang lebih dikenal dengan sebutan kaum hedon merupakan salah satu paham etika aliran filsafat dari Yunani. aliran ini berawal dari paham atau sebuah pendirian manusia, yaitu menurut kodratnya manusia mengusahakan kenikmatan atau kesenangan. Hal ini masih dapat kita rasakan sampai masa sekarang. Misalnya, akibat kodrat biologis dan belum jalannya daya penalaran, anak harus bergantung kepada orang tua atau kepada orang lain. Bersama dengan berjalannya waktu dan proses sosialisasi, ia akan mulai punya kesadaran dan kemampuan menentukan pilihan. Kemudian setelah ia beranjak dewasa, ia akan sangat antusias terhadap adanya hal baru. Oleh karena itu, tidak dapat kita pungkiri bahwa dalam kehidupan hedonisme terkandung kebenaran yang mendalam, yaitu manusia menurut kodratnya mencari kenikmatan dan berupaya agar terhindar dari hal – hal yang menyakitkan. Karena sejak kecil manusia pasti menginginkan kesenangan hidup.
Setelah kemunculan hedonisme, muncullah paham baru, yang tak lain ialah eudomonisme. Eudomonisme berasal dari bahasa Yunani eudaimonia yang secara harfiah berarti mempunyai roh pengawal yang baik, maksudnya mujur dan beruntung. Paham ini mempunyai keyakinan, bahwasanya manusia hidup didunia ini untuk bahagia. Dan dalam kenyataannya, paham ini dianut oleh banyak sekali orang.
Paham yang satu ini adalah salah satu bentuk dari adanya paham eudomonisme. Yaitu paham stoisisme dan juga dianut oleh kaum Stoa. Didirikan di Athena oleh Zeno dari Kition. Sekali lagi paham ini juga merujuk pada kebahagiaan. Yang dalam ini dapat di simpulkan pula bahwa, manusia harus menemukan kebahagiaan serta kedamaian dalam dirinya sendiri. Yaitu dengan menggunakan akalnya serta menguasai perasaannya sepenuhnya. Bila manusia sepenuhnya menguasai perasaannya dan berhasil menindasnya, dengan kata lain yaitu menggunakan akal sebagai sarananya.
Paham yang terakhir ialah paham utilisme, yang dijabarkan dari bahasa latin utilis, berarti bermanfaat. Kaum ini mengatakan bahwa segala sesuatu perbuatan dikatakan buruk apabila membawa kemanfaatan, sedangkan dikatakan buruk apabila membawa suatu kemudharatan. Jadi, paham ini mengajarkan bahwa setiap manusia mempersepsikan kemanfaatan dengan menggunakan perasaannya. Yaitu baik bisa dikatakan baik dan bermanfaat, buruk bisa dikatakan baik dan bermanfaat atau sebaliknya.


DAFTAR PUSTAKA

Vos, H. De. 1987. Pengantar Etika. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.
Suseno, Franz Magnis. 1997. Etka Dasar : Masalah – Masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanius.
http://purplenitadyah.wordpress.com/2012/05/05/hedonisme/html. diakses pada tanggal 25 September 2014, pukul 09.40 WIB.
http://cahayaibnuadam.blogspot.com/2012/02/filsafat-umum-hellenistis-stoisisme.html. diakses pada tanggal 25 September 2014, pukul 10.00 WIB.
http://softskill16.blogspot.com/2013/11/teori-etika-utilitarianisme.html. diakses pada tanggal 25 September 2014, pukul 10.15 WIB.


[1]H. De Vos, Pengantar Etika, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987), hlm. 161.
[2]Ibid., hlm. 161.
[3]Franz Magnis Suseno, Etika Dasar: Masalah – Masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 113.
[4]http://purplenitadyah.wordpress.com/2012/05/05/hedonisme/html., diakses pada tanggal 25 September 2014, pukul 09.40 WIB
[5]H. De Vos, Pengantar Etika... hlm. 161.
[6]http://purplenitadyah.wordpress.com/2012/05/05/hedonisme/html., diakses pada tanggal 25 September 2014, pukul 09.40 WIB
[7]H. De Vos, Pengantar Etika... hlm. 161.
[8]Ibid., hlm. 162.
[9]Ibid., hlm. 162.
[10]http://purplenitadyah.wordpress.com/2012/05/05/hedonisme/html., diakses pada tanggal 25 September 2014, pukul 09.40 WIB
[11]H. De Vos, Pengantar Etika...hlm. 163.
[12]Ibid., hlm. 165.
[13]Ibid., hlm. 168.
[14]http://rudizr.wordpress.com/2012/05/20/eudomonisme/, diakses pada tanggal 25 September 2014, pukul 09.55 WIB.
[15]H. De Vos, Pengantar Etika...hlm. 168.
[16]Ibid., hlm. 169.
[17]Ibid., hlm. 169.
[18]http://rudizr.wordpress.com/2012/05/20/eudomonisme/, diakses pada tanggal 25 September 2014, pukul 09.55 WIB.
[19]H. De Vos, Pengantar Etika...hlm. 170.
[20]H. De Vos, Pengantar Etika... hlm. 173.
[21]Ibid., hlm. 177.
[22]http://cahayaibnadam.blogspot.com/2012/02/filsafat-umum-hellenistis-stoisisme.html, diakses pada tanggal 25 September 2014, pukul 10.00 WIB
[23]H. De Vos, Pengantar Etika... hlm. 177.
[24]H. De Vos, Pengantar Etika... hlm. 177 – 178.
[25]H. De Vos, Pengantar Etika... hlm. 179.
[26]http://softskill16.blogspot.com/2013/11/teori-etika-utilitarianisme.html, diakses pada tanggal 25 September 2014, pukul 10.15 WIB.
[27] Franz Magnis Suseno, Etika Dasar: Masalah – Masalah Pokok Filsafat Moral... hlm. 150.
[28]http://softskill16.blogspot.com/2013/11/teori-etika-utilitarianisme.html, diakses pada tanggal 25 September 2014, pukul 10.15 WIB.
[29]http://cahayaibnadam.blogspot.com/2012/02/filsafat-umum-hellenistis-stoisisme.html, diakses pada tanggal 25 September 2014, pukul 10.00 WIB