BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang.
Filsafat, terutama
Filsafat Islam merupakan salah satu bidang yang menguras energi umat Islam
sejak dari awal. Bukan hanya berkait dengan perdebatan konseptual (akademik), melainkan juga berkaitan dengan wilayah
nonakademik. Di satu sisi filsafat diyakini akan mampu mengangkat harkat dan
martabat kemanusiaan, pencerah akal budi, di sisi lain filsafat dianggap
sebagai biang kerok pemecah belah umat. “Klaim
kebenaran” semakin menyulitkan sekaligus merumitkan upaya dialog dan
negosiasi dari kedua kutub yang berlawanan tersebut.
Sekalipun nama
Aristoteles sering disebut-sebut oleh para filsuf muslim, namun kenyataannya
bukan Aristoteles yang paling berpengaruh dalam bangunan filsafat Islam. Tidak
banyak yang seperti diduga, justru doktrin yang sangat mempengaruhi perjalanan
filsafat Islam adalah doktrin yang bertentangan dengan Aristoteles.
Dari sini lalu
muncullah nama-nama filsuf Islam yang kontribusinya sangat menentukan
peradaban, tidak hanya peradaban Islam tetapi juga dunia. Tercatat dari rahim
Islam nama-nama filsuf yang sangat mempengaruhi dunia, seperti Ibnu Sina,
al-Farabi, ar-Razi, dan Ibnu Rusyd.
Namun didalam makalah
ini hanya menekankan salah satu tokoh filsuf yang sangat mempengaruhi dunia
tersebut di atas, yakni al-Farabi. Dengan pemikiran dan konsepnya “emanasi” yang cukup terkenal.
B.
Rumusan Masalah.
1.
Bagaimana dengan biografi dari al-Farabi ?
2.
Bagaimana dengan pemikiran-pemikiran al-Farabi dan yang melatar
belakanginya?
C.
Tujuan Pembahasan.
1.
Untuk
mengenal lebih jauh tentang kehidupan tokoh.
2.
Untuk mengetahui pemikiran tokoh, sehingga dapat mengkontruksikan dalam
kehidupan sekarang.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi al-Farabi.
Abu Nashr
Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Auzalagh al-Farabi atau yang lebih sering
dikenal dengan al-Farabi lahir di Wasij, sebuah dusun kecil di kota Farab,
Provinsi Transoxiana, Turkestan, sekitar tahun 870 M.[1]
Sebutan
al-Farabi diambil dari nama kota Farab, dimana ia di lahirkan. Ayahnya adalah
seorang Iran dan menikah dengan seorang gadis Turkestan. Karena itu, al-Farabi
dikatakan berasal dari keturunan Turkestan dan kadang-kadang juga dikatakan
dari keturunan Iran.[2]
Sejak
kecil, al-Farabi suka belajar dan ia mempunyai kecakapan luar biasa dalam
lapangan bahasa. Bahasa-bahasa yang dikuasainya antara lain ialah bahasa-bahasa
Iran, Turkestan, dan Kurdistan.[3] Namun
ternyata untuk bahasa Yunani dan bahasa Suryani sebagai bahasa ilmu pengetahuan
pada waktu itu, al-Farabi belum bisa menguasai.[4]
Untuk
memulai karir dalam pengetahuannya, ia hijrah dari negerinya ke kota Baghdad,
yang pada waktu itu disebut sebagai kota ilmu pengetahuan. Dia belajar disana
selama kurang lebih dua puluh tahun. Ia betul-betul memanfaatkan untuk menimba
ilmu pengetahuan kepada : Ibnu Suraj untuk belajar tata bahasa Arab, Abu Bisyr
Matta Ibn Yunus untuk belajar ilmu mantiq (logika).[5]
Sesudah itu
ia pindah ke Harran salah satu pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil untuk
berguru kepada Yuhanna bin Jilan. Tapi tidak lama kemudian ia meninggalkan kota
itu untuk kembali ke Baghdad dan untuk mendalami filsafat sesudah ia menguasai
ilmu mantiq (logika), dan di Baghdad
ia berdiam selama 30 tahun. Selama waktu itu, ia memakai waktunya untuk
mengarang, memberikan pelajaran dan mengulas buku-buku filsafat. Muridnya yang
terkenal pada masa ini antara lain ialah Yahya bin Ady.[6]
Dalam
perjalanan hidupnya, al-Farabi pernah menjadi hakim, beliau juga seorang tabib
yang kenamaan, seorang ahli ilmu pasti dan seorang filsuf yang ulung.
Beliau juga banyak mengarang buku, sebagian besar
karangan-karangan al-Farabi terdiri dari ulasan dan penjelasaan terhadap
filsafat Aristoteles, Plato, dan Galenus, dalam bidang-bidang logika, fisika,
dan metafisika. Walaupun banyak tokoh filsafat yang diulas fikirannya, namun ia
lebih terkenal sebagai pengulas Aristoteles.[7]
Beliau
mempunyai keyakinan, bahwa filsafat tidak boleh dibocorkan dan sampai ke tangan
orang awam. Oleh karena itu, para filosof-filosof harus menuliskan
pendapat-pendapat atau filsafat mereka dalam gaya bahasa yang samar, agar
jangan yang dapat diketahui oleh sembarang orang. Dengan demikian iman serta
keyakinannya tidak menjadi kacau. Dan malahan beliau juga berkeyakinan, bahwa
agama dan filsafat tidak bertentangan, malahan sama-sama membawa kepada
kebenaran.[8]
Pada akhir
tahun 942 M, beliau pindah ke Damaskus karena situasi politik Baghdad yang memburuk.
Beliau sempat tinggal di sana selama dua tahun, dimana waktu siang hari
digunakan untuk bekerja sebagai penjaga kebun dan malam harinya digunakan untuk
membaca dan menulis karya-karya filsafat.
Dengan alasan
yang sama, ia pindah ke Mesir untuk pada akhirnya kembali lagi ke Damaskus pada
tahun 949 M. Selama masa tinggal di Damaskus yang kedua ini, al-Farabi mendapat
perlindungan dari putra mahkota penguasa baru Siria, Saif ad-Daulah (w. 967 M).
Kehidupansufi asketik yang
dijalaninya membuatnya ia tetap berkehidupan sederhana dengan pikiran dan waktu
yang tetap tercurah untuk karir filsafatnya. Akhirnya, pada bulan Desember
tahun 950 M, beliau meninggal dunia di Damaskus pada usia ke delapan puluh
tahun.[9]
B.
Pemikiran-Pemikiran al-Farabi dan Yang Melatar
Belakanginya.
Banyak
teori-teori dan pemikiran-pemikiran al-Farabi yang masih sangat terkenal.
Hingga sekarangpun dibeberapa sekolah atau universitas di dunia ini masih
mengupas mengenai pemikiran-pemikiran beliau. Pemikiran-pemikiran beliau yang
masih sering dipelajari hingga sekarang, yakni :pemikiran-pemikiran mengenai
filsafat, Filsafat Kenabian (berbicara mengenai keraguan dan pengingkaran soal
kenabian di dalam Islam), pemikirannya tentang adanya Tuhan dan
sifat-sifat-Nya, teori politik
al-Farabi, dan yang paling terkenal akan teorinya mengenai Teori Emanasi (Al-Faidl).
1.
Filsafat al-Farabi.
Masalah
kefilsafatan sebenarnya telah dibahas dan dicarikan pemecahannya sejak manusia
mampu menggunakan akal pikirannya. Di antara persoalan-persoalan filsafat yaitu
masalah Ketuhanan yang termasuk dalam pembahasan metafisika.
Hal ini
telah banyak dibahas oleh para pemikir Yunani kuno yang pada mulanya mencari arkhe dari segala sesuatu yang selalu
dipertanyakan oleh mereka. Ternyata beberapa pemikir berpandangan materialik seperti dikatakan Thales
bahwa arkhe (asas atau prinsip) itu
adalah air. Anaximenes berkata, prinsip yang merupakan asal usul segala sesuatu
itu udara, dan konsepsi Ketuhanan menurut Anaximandros telah dirumuskan secara substil (bersifat gaib) dan spekulatif, sebab bagi Anaximandros arkhe dari segala sesuatu adalah apeiron (yang terbatas), sebab bersifat
ilahi, abadi, tak terubahkan dan meliputi segala sesuatu.[10]
Al-Farabi
mendefinisikan filsafat adalah: Al Ilmu
bilmaujudaat bima Hiya Al Maujudaat, yang berarti suatu ilmu yang
menyelidiki hakikat sebenarnya dari segala yang ada ini. Al-Farabi berhasil
meletakkan dasar-dasar filsafat ke dalam ajaran Islam. Dia juga berpendapat
bahwa tidak ada pertentangan antara filsafat Plato dan Aristoteles, sebab
kelihatan berlainan pemikirannya tetapi hakikatnya mereka bersatu dalam tujuannya.[11]
Secara
garis besar, dari pemaparan diatas dapat kita fahami, bahwasanya filsafat
al-Farabi adalah perpaduan antara filsafat Aristoteles dan filsafat Plato.
Namun dalam
masalah alam, al-Farabi sependapat
dengan pemikiran Plato tentang alam itu baru, yang terjadi dari tidak ada (sama dengan pendapat al-Kindi). Ide
Plato tentang alam mirip dengan suatu pengertian alam akhirat pada dunia Islam.
Persoalan
tentang terjadinya alam serta bagaimana hubungan pencipta (Khaliq) dengan makhluk-Nya, al-Farabi setuju atas teori emanasi Neo Platonisme (yang akan
dibahas selanjutnya), lebih jauh al-Farabi merinci lagi teori emanasi dengan istilah Nadhariyatul Faidl, dengan pemikiran dan
uraiannya sendiri. Pola pikir pada bidang mantiq dan fisika, al-Farabi
sependapat dengan Aristoteles, dalam bidang etika dan politik, ia sependapat
dengan Plato dan persoalan metafisika ia sependapat dengan Plotinus.[12]
Al-Farabi
sangat menyayangkan terjadinya aliran-aliran filsafat, meskipun tujuannya sama,
yaitu mencapai kebenaran yang esa, sebagaimana halnya dengan aliran-aliran
politik yang bermacam-macam coraknya, tetapi tujuannya sama.[13]
2.
Filsafat Kenabian.
Di beberapa
buku yang membahas tentang Filsafat Islam sering dikatakan mengenai Akal Kesepuluh.
Akal Kesepuluh itu dapat disamakan
dengan malaikat dalam faham Islam. Para filosof dapat mengetahui mengetahui
hakikat-hakikat karena dapat berkomunikasi dengan Akal Kesepuluh.
Demikian
pula Nabi dan Rasul dapat menerima wahyu, karena mempunyai kesanggupan untuk
mengadakan komunikasi dengan Akal Kesepuluh.
Tetapi kedudukan Nabi dan Rasul lebih tinggi dari pada filosof. Komunikasi yang dilakukan Nabi dan Rasul
dengan Akal Kesepuluh, terjadi bukan
atas usaha sendiri, tetapi atas pemberian Tuhan. Hal ini berbeda dengan filosof
yang dapat mengadakan komunikasi itu atas usaha sendiri, yaitu dengan latihan
dan kontemplasi.[14]
Sebelum
melanjutkan pembahasan, perlu kita ketahui. Bahwa persoalan kenabian ada pada
agama. Tetapi agama yang dimaksud adalah agama samawi/langit, di mana secara essensial berasal dari pemberitahuan
wahyu dan ilham (inspirasi).
Berdasarkan wahyu dan ilhamlah segala kaidah dan sendi-sendinya menjadi tegak.
Seorang nabi hanyalah seorang biasa, ia diberi kemampuan untuk berhubungan
dengan Allah dan mengekspresikan kehendaknya, sebagai keistimewaannya. Agama
Islam adalah agama langit, yang ajarannya berasal dari langit dan sumber
utamanya adalah kitab suci dan assunnah.
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an)
menurut hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya). Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat. (Q.S. An-Najm : 3-5)[15]
Dalam
ajaran Islam, wahyu merupakan sumber inspirasi yang pasti, yang harus dijadikan
pedoman baginya dalam operasionalisasi ajaran. Wahyu mudah dan jelas diterima
oleh manusia, pertolongan malaikat Jibril yang dapat mengubah bermacam-macam
bentuk.
Pada awal
kedatangan Islam, kaum muslimin mempercayai penuh apa yang dating dari Tuhan,
tanpa membahas atau mencari-cari alasannya. Keadaan ini tidak lama kemudian
dikeruhkan oleh berbagai keraguan, akibatnya golongan-golongan luar Islam dapat
memasukkan pikirannya di kalangan kaum muslimin, seperti golongan Mazdak dan
Manu dari Iran, golongan Summiyyah. Sejak saat itu, setiap dasar-dasar Agama
Islam dibahas dan di kritik. Dalam menghadapi mereka, orang-orang Mu’tazilah
telah memberikan bagian yang sukar dicari bandingannya. Dalam hubungan ini,
serangan Ibn Ar-Rawandi dan Abu Bakar Ar-Razi terhadap kenabian perlu dicatat.[16]
Persoalan
kenabian yang lain adalah bagaimana pengaruh imajinasi terhadap impian dan
pembentukannya, sebab apabila soal impian ini bisa ditafsirkan secara ilmiah,
maka soal kenabian dan selanjutnya bisa ditafsirkan pula.
Al-Farabi
menerangkan bahwa imajinasi jika telah terlepas dari perbuatan-perbuatan
diwaktu berjaga, maka disaat sedang tidur ia mempergunakan sebagai fenomena
psikologis. Kemudian ia menciptakan ilustrasi-ilustrasi baru atau mengumpulkan
ilustrasi-ilustrasi konsepsional yang telah ada sebelumnya dalam berbagai
bentuk, dengan cara menirukan dan terpengaruh oleh sebagian penyerapan indrawi
dan perasaan jasmaniah atau emosi-emosi psikologis dan persepsi-persepsi
rasional.[17]
Dengan
demikian, keistimewaan yang utama bagi seorang nabi menurut al-Farabi adalah Ia
mempunyai imajinasi yang memungkinkan berhubungan dengan Akal Fa’al, baik diwaktu jaga maupun diwaktu tidur. Dengan
imajinasi ini Nabi sampai pada semua persepsi dan realitas yang bisa diraihnya.
Yang nampak dalam bentuk wahyu atau impian yang benar, sementara wahyu bukan
sesuatu lain kecuali pancaran dari Tuhan melalui Akal Fa’al.
Inilah
teori kenabian yang telah dicapai oleh al-Farabi yang dihubungkan dengan
soal-soal sosial dan kejiwaan. Maka nabi dan filosof, menurut al-Farabi adalah
dua pribadi sholeh yang akan memimpin negeri utama, dimana keduanya dapat
berhubungan dengan Akal Fa’al yang
menjadi sumber syari’at dan aturan
yang diperlukan bagi kehidupan negeri itu. Perbedaan keduanya, apabila nabi
meraih hubungan ini melalui imajinasi, sedangkan filosof melalui jalur studi
dan analisa atau kajian.
3.
Pemikiran Terhadap Tuhan.
Persoalan-persoalan
filsafat telah dibahas oleh filosof sebelumnya, baik dari Yunani, Persia atau
yang lainnya, meski pemecahan yang dilakukan mereka saling berlawanan.
Al-farabi dalam usaha memecahkan persoalan tersebut tidak terlepas murni dari
pembahasan-pembahasan yang dilakukan oleh mereka itu. Di antara persoalan
adalah Esa dan berbilang.[18]
Al-Farabi
membagi ilmu Ketuhanan menjadi tiga, yaitu :pertama,
membahas semua wujud dan hal-hal yang terjadi padanya sebagai wujud. Kedua, membahas prinsip-prinsip burhan
dalam ilmu-ilmu teori juz’iyat (paticulars)
yaitu ilmu yang berdiri karena penelitiannya tentang wujud tertentu. Seperti
ilmu mantiq (logika), matematika,
atau ilmu juzz’iyyat lainnya. Ketiga, membahas semua wujud yang tidak
berupa benda-benda ataupun berada dalam benda-benda itu.[19]
Sampai
sekarang, kajian hakikat Tuhan yang dikemukakan oleh al-Farabi. Ia menyatakan
bahwa Allah adalah wujud yang sempurna dan yang ada tanpa suatu sebab, karena
apabila ada sebab bagi-Nya berarti Ia tidak sempurna sebab bergantung
kepadanya. Ia wujud yang paling dahulu dan paling mulia. Karena itu Tuhan
adalah zat yang azali dan selalu ada.
Apabila
Tuhan lebih dari satu, maka Tuhan itu ada kalanya sama-sama sempurna wujudnya
atau barang kali berbeda dalam sesuatu sifat-sifat tertentu. Demikian pula,
karena Tuhan itu tunggal, maka ia tidak dapat diberi batasan (definite), karena batasan berarti
penyusunan yaitu dengan memakai spices
dan differentia atau dengan memakai matter dan form, seperti halnya dengan jauhar
(benda), sedang kesemuannya itu adalah mustahil bagi Tuhan.[20]
Oleh karena
itu, Tuhan yang tidak dapat dibatasi ini, tidak akan dapat dicapai oleh manusia
yang terbatas ini dengan sempurna. Sebagaimana suatu cahaya yang sangat kuat
yang menyilaukan mata, sehingga kita sulit menguraikan sifat-sifat cahaya itu
yang sebenarnya.
Menurut
al-Farabi, Tuhan adalah wujud yang sempurna, ada tanpa sesuatu sebab, kalau ada
sebab bagi-Nya, maka adanya Tuhan tidak sempurna lagi, berarti adanya Tuhan
bergantung kepada sebab yang lain.
Karena itu
Ia adalah substansi yang azali, yang ada dari semula dan selalu ada.
Substansi-Nya itu sendiri telah cukup jadi, sebab bagi keabadian wujud-Nya.[21]
Dalam
metafisikanya tentang Ketuhanan, al-Farabi hendak menunjukkan Keesaan Tuhan dan
ketunggalan-Nya. Juga dijelaskan pula mengenai kesatuan antara sifat dan dzat (substansi) Tuhan. Sifat Tuhan tidak
berbeda dari dzat-Nya, karena Tuhan adalah Tunggal. Tuhan benar-benar akal
(pikiran) murni, karena yang menghalang-halangi sesuatu untuk menjadi akal
(pikiran) dan berpikir adalah berada maka sesuatu itu berada. Kalau wujud
Sesutu tidak membutuhkan benda maka sesutu itu benar-benar akal (pikiran).
Demikianlah keadaan Wujud Yang Pertama
(Tuhan).[22]
Dalam
membuktikan adanya Tuhan, ada beberapa dalil yang dapat digunakan sebagai dalilontologi,dalil teologi dan dalil
kosmologi. Para pemikir Yunani menggunakan dalil-dalil tersebut (ontologi, teleologi, dan kosmologi)
untuk sampai kepada kesimpulan tentang adanya Tuhan. Hal seperti itu diikuti
pula oleh para pemikir Islam. Diantara dalil yang banyak dipakai adalah dalil
ciptaan atau dalil kosmologi menurut
istilah metafisika.[23]
4.
Teori Politik al-Farabi.
Seperti
yang sudah diulas diatas, filsafat kenabian. Filsafat kenabian erat hubungannya
dengan teori politik al-Farabi. Al-Farabi mengandaikan kota seperti badan
manusia yang mempunyai bagian-bagian tertentu. Antara anggota badan yang satu
dengan yang lain memiliki hubungan yang erat dan mempunyai fungsi-fungsi
tertentu yang harus dijalankan untuk kepentingan keseluruhan badan.
Dalam kota
(masyarakat), kepada masing-masing
anggota harus diberikan kerja yang sepadan dengan kesanggupan masing-masing.
Pekerjaan yang terpenting dalam masyarakat adalah pekerjaan kepala masyarakat,
yang dalam tubuh manusia serupa dengan pekerjaan akal. Kepala merupakan sumber
dari segala peraturan dan keharmonisan dalam masyarakat.[24]
Al-Farabi
berpendapat, bahwa ilmu politik adalah ilmu yang meneliti berbagai bentuk
tindakan, cara, hidup, watak, disposisi
positif dan akhlak. Semua tindakan dapat diteliti mengenai tujuannya, dan
apa yang membuat manusia dapat melakukan seperti itu, dan bagaimana memelihara
tindakan dengan cara yang baik dapat diteliti.[25]
Lebih
lanjut al-Farabi berpendapat, bahwa kebahagiaan yang hakiki (sebenarnya) tidak mungkin dapat
diperoleh sekarang (di dunia ini),
tetapi sesudah kehidupan sekarang yaitu al-akhirat.
Namun sekarang ini juga ada kebahagiaan yang nisbi, seperti halnya kehormatan, kekayaan, dan kesenangan yang
dapat nampak dan dijadikan pedoman hidup. Kebahagiaan sejati senantiasa dengan
suatu tindakan-tindakan yang mulia, kebajikan-kebajikan dan keutamaan-keutamaan.
Maka untuk menuju kearah itu terwujud melalui kepemimpinan yang tegak dan
benar-benar.
Kepemimpinan
tumbuh dari keahlian dan pembawaan manusia. Hal ini dapat mengarahkan manusia
dalam menegakkan nilai-nilai utama dan tindakan-tindakan yang bakal memelihara
sebagai kemantapan. Keahlian dapat disebut pemerintahan dan raja. Adapun
politik adalah bentuk operasional dari keahlian tersebut.[26]
5.
Teori Emanasi (Al-Faidl).
Salah satu
problem filsafat adalah masalah ketunggalan dan keragaman. Apakah alam ini
tunggal ataukah beraneka? Pertanyaan ini telah menjadi perbincangan filsafat
sejak dini. Kaum agamawan cenderung ke arah monoisme
(ketunggalan) karena mereka meyakini bahwa dunia ini diciptakan dan dikontrol
oleh a single all-powerful mind.[27]
Teori ini
membahas tentang keluarnya sesuatu wujud yang mungkin (alam makhluk) dari zat yang mesti adanya, Tuhan (Zat yang wajibul wujud).[28]Emanasi (al-Faidl)menurut al-Farabi adalah semacam teori emanasi yang dikeluarkan oleh Plotinus.[29]
Dengan
filsafat emanasi ini al-Farabi mencoba
menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Satu. Tuhan bersifat
Maha Esa, tidak berubah, jauh dari materi, jauh dari arti banyak, Maha sempurna
dan tidak berhajat pada apapun. Kalau demikian hakikat Tuhan, bagaimana
terjadinya alam materi yang banyak ini dari Yang Esa? Jadi, menurut al-Farabi
alam terjadi dengan caraemanasi.[30]
Al-Farabi
memberikan penjelasan tentang emanasi,
bahwa segala sesuatu dari Wujud Pertama
dalam suatu carayang sangat sistematik. Argumen pokoknya adalah bahwa Yang Pertama karena kelimpahan wujud dan
kesempurnaannya mewujudkan seluruh tatanan wujud di alam semesta melalui suatu
“keniscayaan alam” yang sama sekali
tidak tergantung pada pilihan dan kehendaknya.[31]
Setelah
penguraian tentang emanasi diatas, sedikit atau banyak akan timbul pertanyaan,
bagaimana terjadinya emanasi tersebut? Seperti halnya dengan Plotinus,
al-Farabi mengatakan bahwa Tuhan itu Esa sama sekali. Karena itu, yang keluar
dari-Nya juga satu wujud saja, sebab emanasi itu timbul karena pengetahuan (ilmu) Tuhan terhadap zat-Nya yang satu.
Kalau apa yang keluar dari zat Tuhan itu berbilang, maka berarti zat Tuhan
itupun berbilang pula. Dasar adanya emanasi
tersebut adalah karena dalam pemikiran Tuhan dan pemikiran akal-akal terdapat
kekuatan emanasi dan penciptaan.[32]
Tuhan
sebagai akal, berfikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul suatu
maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama (al-wujud
al-awwal) dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua (al-wujud al-tsani) yang juga mempunyai substansi. Ia disebut
sebagai Akal Pertama (al-‘aql al-awwal;
First Intelligence) yang tak bersifat materi (jauhar ghair mutajassim asl wa la fi madah). Wujud kedua ini
berfikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran ini timbullah wujud ketiga (al-wujud al-tsalis) disebut Akal Kedua (al-‘aql al-tsani, Second Intelligence).
Wujud II
atau Akal Pertama itu berfikir juga tentang dirinya dan dari situ timbullah
Langit Pertama (al-sama’ al-ula; first
heaven).[33]
Atau skema
di bawah ini bisa memperjelas tentang proses emanasi ala al-Farabi.[34]
Tuhan
|
Diri-Nya
|
=
|
Wujud II /
Akal Pertama.
|
Wujud II /
Akal Pertama
|
Tuhan
|
=
|
Wujud III /
Akal Kedua
|
|
Diri-Nya
|
=
|
Langit Pertama
|
Wujud III /
Akal Kedua
|
Tuhan
|
=
|
Wujud IV /
Akal Ketiga
|
|
Diri-Nya
|
=
|
Bintang-Bintang
|
Wujud IV /
Akal Ketiga
|
Tuhan
|
=
|
Wujud V / Akal
Keempat
|
|
Dirinya
|
=
|
Saturnus
|
Wujud V / Akal
Keempat
|
Tuhan
|
=
|
Wujud VI /
Akal Kelima
|
|
Dirinya
|
=
|
Jupiter
|
Wujud VI /
Akal Kelima
|
Tuhan
|
=
|
Wujud VII /
Akal Keenam
|
|
Dirinya
|
=
|
Mars
|
Wujud VII /
Akal Keenam
|
Tuhan
|
=
|
Wujud VIII /
Akal Ketujuh
|
|
Dirinya
|
=
|
Matahari
|
Wujud VIII /
Akal Ketujuh
|
Tuhan
|
=
|
Wujud IX /
Akal Kedelapan
|
|
Dirinya
|
=
|
Venus
|
Wujud IX /
Akal Kedelapan
|
Tuhan
|
=
|
Wujud X / Akal
Kesembilan
|
|
Dirinya
|
=
|
Markurius
|
Wujud X / Akal
Kesembilan
|
Tuhan
|
=
|
Wujud XI /
Akal Kesepuluh
|
|
Dirinya
|
=
|
Bulan
|
Wujud XI / Akal Kesepuluh /
Akal Aktif.
Sampai Akal
Kesepuluh, selesailah proses emanasi akal. Tetapi, dari Akal Kesepuluh ini
muncul materi dasar, empat unsur mineral, tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia
yang menempati tempat teratas hierarki
wujud di bawah bulan.[35]
Pada
diskursus lain menyebutkan, bahwa pada pemikiran Wujud XI / Akal Kesepuluh,
berhentilah terjadi atau timbulnya akal-akal. Tetapi dari Akal Kesepuluh
muncullah bumi serta ruh-ruh dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat
unsur :api, udara, air, dan tanah.
Jadi, ada
10 akal dan 9 langit (dari teori Yunani tentang 9 langit) yang kekal berputar
sekitar bumi. Tentang qidam (tidak
bermulanya) atau barunya alam, al-Farabi mencela orang yang mengatakan bahwa
alam ini menurut Aristoteles adalah kekal. Menurut al-Farabi, alam ini terjadi
dengan tak mempunyai permulaan dalam waktu, yaitu tidak terjadi secara
berangsur-angsur, tetapi sekaligus dengan tak berwaktu.[36]
Mengapa jumlah
akal dibatasi kepada bilangan sepuluh? Hal ini disesuaikan dengan bilangan
bintang yang berjumlah sembilan, dimana untuk tiap-tiap akal diperlukan untuk
satu planet pula, kecuali akal pertama yang tidak disertai sesuatu planet,
ketika keluar dari Tuhan. Tetapi mengapa jumlah bintang tersebut ada 9? Karena
jumlah benda-benda angkasa menurut Aristoteles ada tujuh. Kemudian al-Farabi
menambah dua lagi, yaitu benda langit yang terjauh dan bintang-bintang tetap,
yang diambil dari Plotomey (atau Cladius
Plotomazus), seorang ahli astronomi dan ahli ilmu bumi di Mesir, yang hidup
pada pertengahan abad ke-2 Masehi.[37]
Al-Farabi
mengidentifikasi Akal Aktif dengan Malaikat Jibril atau Ruh al-Quds, malaikat pembawa wahyu Ilahi. Akal Aktif merupakan locus atau gudang sempurna dari
bentuk-bentuk pengetahuan. Akal Aktif merupakan perantara transenden antara Tuhan dan manusia.[38]
Tidak jelas
apa yang dimaksud al-Farabi. Sebagian penyelidik berpendapat bahwa bagi
al-Farabi alam ini baru. Tetapi De Boer mengartikan alam bagi al-Farabi adalahqidam (tidak bermula). Yang jelas, bahwa
materi asal dari alam memancar dari wujud Allah dan pemancaran itu terjadi dari
qidam. Pemancaran diartikan
penjadian. Materi dan alam dijadikan, tetapi mungkin sekali bersifat qidam.
Jiwa
manusia sebagaimana halnya dengan materi, asal memancarnya dari Akal Kesepuluh.
Seperti Aristoteles, al-Farabi juga berpendapat bahwa jika mempunyai daya-daya
sebagai berikut:
a.
Gerak (al-muharikah, montion):
makan (al-ghaziyah, nutrition),
memelihara (al-murabbiyah, preservation),
berkembang (al-muwalladah, reproduction).
b.
Mengetahui (al-mudrikah, cognition):
merasa (al-hasah, sensation),
imajinasi (al-mutakhayalah, imagination).
c.
Berfikir (al-natiqah, intellection),
akal praktis (al-‘aql al-‘amali,
practical intellect), akal teoritis (al-‘aql
al-nazari, theoretical intellect).
Akal Potensial
menangkap bentuk-bentuk dari benda-benda yang dapat ditangkap dengan panca
indera, akal aktuil menangkap
arti-arti dan konsep-konsep dan akal
mustafad mempunyai kesanggupan untuk mengadakan komunikasi dengan atau
menangkap inspirasi dari akal yang di atas dan di luar diri manusia yaitu Akal Kesepuluh yang diberi nama Akal Aktif (al-‘aql al-fa’al, active intellect) yang didalamnya terdapat
bentuk-bentuk segala yang ada semenjak zaman azali. Hubungan akan manusia
dengan Akal Aktif sama dengan hubungan antara mata dengan matahari. Mata
melihat karena ia menerima cahaya dari matahari. Akal manusia dapat menangkap
arti-arti dan bentuk-bentuk karena mendapat cahaya dari Akal Aktif.[39]
BAB III
KESIMPULAN
Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Auzalagh al-Farabi atau yang lebih sering dikenal
dengan al-Farabi lahir di Wasij, sebuah dusun kecil di kota Farab, Provinsi
Transoxiana, Turkestan, sekitar tahun 870 M.
Dalam perjalanan hidupnya, al-Farabi pernah menjadi
hakim, beliau juga seorang tabib yang kenamaan, seorang ahli ilmu pasti dan
seorang filsuf yang ulung. Beliau juga banyak mengarang buku, sebagian besar
karangan-karangan al-Farabi terdiri dari ulasan dan penjelasaan terhadap
filsafat Aristoteles, Plato, dan Galenus, dalam bidang-bidang logika, fisika,
dan metafisika. Walaupun banyak tokoh filsafat yang diulas fikirannya, namun ia
lebih terkenal sebagai pengulas Aristoteles.
Kehidupan sufi
asketik yang dijalaninya membuatnya ia tetap berkehidupan sederhana dengan
pikiran dan waktu yang tetap tercurah untuk karir filsafatnya. Akhirnya, pada
bulan Desember tahun 950 M, beliau meninggal dunia di Damaskus pada usia ke
delapan puluh tahun.
Banyak teori-teori dan pemikiran-pemikiran al-Farabi
yang masih sangat terkenal. Hingga sekarangpun dibeberapa sekolah atau
universitas di dunia ini masih mengupas mengenai pemikiran-pemikiran beliau.
Pemikiran-pemikiran beliau yang masih sering dipelajari hingga sekarang, yakni
: pemikiran-pemikiran mengenai filsafat, Filsafat Kenabian (berbicara mengenai
kecraguan dan pengingkaran soal kenabian di dalam Islam), pemikirannya tentang
adanya Tuhan dan sifat-sifat-Nya, teori
politik al-Farabi, dan yang paling terkenal akan teorinya mengenai Teori Emanasi (Al-Faidl).
Mengenai filsafat, al-Farabi mendefinisikan filsafat
adalah : Al Ilmu bilmaujudaat bima Hiya Al Maujudaat, yang berarti suatu ilmu
yang menyelidiki hakikat sebenarnya dari segala yang ada ini. Dan secara garis
besar, filsafat al-Farabi merupakan perpaduan antara filsafat Plato dan
Aristoteles.
Dilanjutkan, persoalan kenabian ada pada agama. Tetapi
agama yang dimaksud adalah agama samawi/langit, di mana secara essensial
berasal dari pemberitahuan wahyu dan ilham (inspirasi). Berdasarkan wahyu dan
ilhamlah segala kaidah dan sendi-sendinya menjadi tegak. Seorang nabi hanyalah
seorang biasa, ia diberi kemampuan untuk berhubungan dengan Allah dan
mengekspresikan kehendaknya, sebagai keistimewaannya.Inilah teori kenabian yang
telah dicapai oleh al-Farabi yang dihubungkan dengan soal-soal sosial dan kejiwaan.Maka
nabi dan filosof, menurut al-Farabi adalah dua pribadi sholeh yang akan
memimpin negeri utama, dimana keduanya dapat berhubungan dengan Akal Fa’al yang menjadi sumber syari’at
dan aturan yang diperlukan bagi kehidupan negeri itu. Perbedaan keduanya,
apabila nabi meraih hubungan ini melalui imajinasi, sedangkan filosof melalui
jalur studi dan analisa atau kajian.
Al-Farabi membagi ilmu Ketuhanan menjadi tiga, yaitu :pertama, membahas semua wujud dan
hal-hal yang terjadi padanya sebagai wujud. Kedua,
membahas prinsip-prinsip burhan dalam ilmu-ilmu teori juz’iyat (paticulars) yaitu ilmu yang berdiri karena penelitiannya
tentang wujud tertentu. Seperti ilmu mantiq (logika), matematika, atau ilmu
juzz’iyyat lainnya. Ketiga, membahas
semua wujud yang tidak berupa benda-benda ataupun berada dalam benda-benda itu.
Sampai sekarang, kajian hakikat Tuhan yang dikemukakan oleh al-Farabi. Ia
menyatakan bahwa Allah adalah wujud yang sempurna dan yang ada tanpa suatu
sebab, karena apabila ada sebab bagi-Nya berarti Ia tidak sempurna sebab
bergantung kepadanya. Ia wujud yang paling dahulu dan paling mulia. Karena itu
Tuhan adalah zat yang azali dan selalu ada.
Seperti yang sudah diulas diatas, filsafat kenabian.
Filsafat kenabian erat hubungannya dengan teori politik al-Farabi. Al-Farabi
mengandaikan kota seperti badan manusia yang mempunyai bagian-bagian tertentu.
Antara anggota badan yang satu dengan yang lain memiliki hubungan yang erat dan
mempunyai fungsi-fungsi tertentu yang harus dijalankan untuk kepentingan
keseluruhan badan.
Kemudian berlanjut pada pemikiran al-Farabi mengenai
emanasi. Dengan filsafat emanasi ini al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana
yang banyak bisa timbul dari Yang Satu. Tuhan bersifat Maha Esa, tidak berubah,
jauh dari materi, jauh dari arti banyak, Maha sempurna dan tidak berhajat pada
apapun. Kalau demikian hakikat Tuhan, bagaimana terjadinya alam materi yang
banyak ini dari Yang Esa? Jadi, menurut al-Farabi alam terjadi dengan cara
emanasi.Al-Farabi memberikan penjelasan tentang emanasi, bahwa segala sesuatu
dari Wujud Pertama dalam suatu cara yang sangat sistematik. Argument pokoknya
adalah bahwa Yang Pertama karena kelimpahan wujud dan kesempurnaannya
mewujudkan seluruh tatanan wujud di alam semesta melalui suatu “keniscayaan
alam” yang sama sekali tidak tergantung pada pilihan dan kehendaknya.
Jadi, ada 10 akal dan 9 langit (dari teori Yunani
tentang 9 langit) yang kekal berputar sekitar bumi. Tentang qidam (tidak bermulanya) atau barunya
alam, al-Farabi mencela orang yang mengatakan bahwa alam ini menurut
Aristoteles adalah kekal. Menurut al-Farabi, alam ini terjadi dengan tak
mempunyai permulaan dalam waktu, yaitu tidak terjadi secara berangsur-angsur,
tetapi sekaligus dengan tak berwaktu.
DAFTAR PUSTAKA
Hamdi, Ahmad Zainul. 2004. Tujuh Filsuf Muslim: Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat Modern.
Yogyakarta. Pustaka Pesantren.
Sudarsono. 2010. Filsafat
Islam. Jakarta. Rineka Cipta.
Mustofa, A. 1997. Filsafat
Islam: Untuk Fakultas Tarbiyah, Syariah, Ushuluddin, Adab, dan Dakwah, Komponen
MKDK. Bandung. Pustaka Setia.
Maftukhin. 2012. Filsafat
Islam. Yogyakarta. Teras.
[1]Ahmad
Zainul Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim :
Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat Modern, (Yogyakarta : Pustaka
Pesantren, 2004), hal. 71.
[2]Sudarsono,
Filsafat Islam, (Jakarta : Rineka
Cipta, 2010), hal. 30.
[4]A.
Mustofa, Filsafat Islam : Untuk Fakultas
Tarbiyah, Syariah, Ushuluddin, Adab, dan
Dakwah, Komponen MKDK, (Bandung : Pustaka Setia, 1997), hal. 126.
[6]Sudarsono,
Filsafat Islam… hal. 31.
[8]Maftukhin,
Filsafat Islam, (Yogyakarta : Teras,
2012), hal. 97.
[9]Ahmad
Zainul Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim :
Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat Modern… hal. 74.
[10]Sudarsono,
Filsafat Islam… hal. 32.
[11]Mustofa, Filsafat Islam : Untuk Fakultas Tarbiyah,
Syariah, Ushuluddin, Adab, dan Dakwah,
Komponen MKDK… hal. 128.
[13]Sudarsono,
Filsafat Islam… hal. 33.
[14]Maftukhin,
Filsafat Islam… hal. 102.
[15]Mustofa, Filsafat Islam : Untuk Fakultas Tarbiyah,
Syariah, Ushuluddin, Adab, dan Dakwah,
Komponen MKDK… hal. 137.
[16]Mustofa, Filsafat Islam : Untuk Fakultas Tarbiyah,
Syariah, Ushuluddin, Adab, dan Dakwah,
Komponen MKDK… hal. 137-138.
[18]Mustofa, Filsafat Islam : Untuk Fakultas Tarbiyah,
Syariah, Ushuluddin, Adab, dan Dakwah,
Komponen MKDK… hal. 133.
[21]Sudarsono,
Filsafat Islam… hal. 34.
[24]Maftukhin,
Filsafat Islam… hal. 103.
[25]Mustofa, Filsafat Islam : Untuk Fakultas Tarbiyah,
Syariah, Ushuluddin, Adab, dan Dakwah,
Komponen MKDK… hal. 131.
[27]Ahmad
Zainul Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim :
Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat Modern… hal. 83.
[28]Sudarsono,
Filsafat Islam… hal. 38.
[29]Mustofa, Filsafat Islam : Untuk Fakultas Tarbiyah,
Syariah, Ushuluddin, Adab, dan Dakwah,
Komponen MKDK… hal. 160.
[30]Maftukhin,
Filsafat Islam… hal. 98.
[31]Ahmad
Zainul Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim :
Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat Modern… hal. 85.
[32]Mustofa, Filsafat Islam : Untuk Fakultas Tarbiyah,
Syariah, Ushuluddin, Adab, dan Dakwah,
Komponen MKDK… hal. 160.
[33]Maftukhin,
Filsafat Islam… hal. 98.
[34]Ahmad
Zainul Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim :
Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat Modern… hal. 86-87.
[35]Ahmad
Zainul Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim :
Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat Modern… hal. 87.
[36]Maftukhin,
Filsafat Islam… hal. 99.
[37]Mustofa, Filsafat Islam : Untuk Fakultas Tarbiyah,
Syariah, Ushuluddin, Adab, dan Dakwah,
Komponen MKDK… hal. 162.
[38]Ahmad
Zainul Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim :
Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat Modern… hal. 87.
[39]Maftukhin,
Filsafat Islam… hal. 101.