BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Dalam sejarah filsafat terdapat banyak sistem etika, yang
artinya banyak uraian sistematis yang berbeda – beda tentang hakikat moralitas
dan peranannya dalam kehidupan manusia. Dalam bab ini kami tidak bermaksud
membahas seluruh sejarah pemikiran moral.
Kami sengaja membatasi diri dengan hanya memperkenalkan
beberapa pandangan tentang macam kesusilaan didunia atau etika yang pernah
dikemukakan dan berpengaruh terus sampai sekarang. Etika (kesusilaan) dipandang
sebagai suatu ilmu dapat dipakai untuk menanggapi atau menilai tentang
pandangan hidup semua orang.
Didalam makalah revisi ini, pemakalah akan mencoba
menjelaskan sedikit tentang tema yang berjudul “ MACAM – MACAM KESUSILAAN
DIDUNIA ”. dengan harapan yang besar, kita semua menjadi tahu akan pandangan
etika (kesusilaan) yang mungkin masih bisa kita rasakan sampai saat ini.
Sehingga kita dapat mempertimbangkan setiap dampak yang mungkin akan sampai
kepada kita semua.
B. Rumusan Masalah.
1. Bagaimanakah pandangan paham Hedonisme tentang baik dan buruk serta
masalah apa sajakah yang ditimbulkan akibat paham ini ?
2. Bagaimanakah perkembangan yang terjadi terhadap paham Eudomonisme dan
masalah apa yang ditimbulkannya ?
3. Apa sajakah yang terjadi saat kemunculan aliran Stoisisme dan apa
saja masalah yang ditimbulkan ?
4. Bagaimana pandangan paham Utilisme dalam menilai kebijakan publik
yang memberi dampak baik bagi orang banyak secara moral dan masalah yang
mungkin dapat timbul karena pandangan ini ?
C. Tujuan Masalah.
1. Untuk mengetahui banyak atau sedikit tentang paham Hedonisme yang
terkenal dengan para pencari kebahagiaan dan menjahui segala hal yang mungkin
menimbulkan kesengsaraan, yang mungkin masih dapat kita rasakan hingga
sekarang.
2. Karena dengan mengetahui perkembangan yang terjadi pada paham Eudomonisme
ini, maka kita akan tahu apakah paham ini masih berkembang sampai saat ini
atau tidak, serta kita akan mengetahui apasaja yang mungkin terjadi saat paham
ini mulai berkembang pada masa sekarang.
3. Untuk mengetahui kejadian yang terjadi pada masa lampau tentang paham Stoisisme,
yang mungkin dapat disimpulkan bahwa manusia harus menemukan kebahagiaan
serta kedamaian dalam dirinya sendiri.
4. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan paham Utilisme mengenai
kemanfaatan yang berasal dari diri sendiri maupun dari orang lain serta dari
alam sekitarnya. Yang mungkin dari kemanfaatan tersebut dapat menimbulkan
sesuatu yang masih kita rasakan sampai sekarang.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Paham Hedonisme Serta Permasalahannya.
Di dunia ini ada beberapa macam kesusilaan, diantaranya
adalah Hedonisme. Hedonisme atau yang lebih sering disebut dengan
sebutan kaum hedon adalah paham sebuah aliran filsafat dari Yunani.
Hedonisme berangkat dari pendirian bahwa menurut kodratnya manusia
mengusahakan kenikmatan atau kesenangan.[1] Paham
aliran ini mempunyai sebuah tujuan, yaitu mencari kebahagiaan sebanyak –
banyaknya dan menjahui segala macam kesengsaraan yang mungkin akan terjadi. Dan
semua yang ada di dunia ini pasti tak luput akan tanggapan positif maupun
negatif. Demikian juga dengan paham ini. Paham ini juga tak luput dari persepsi
orang sebagai paham positif maupun paham negatif. Pada saat itu, hedonisme bertolak
dari pendirian, bahwa menurut kodratnya manusia mengusahakan kenikmatan, yang
dalam bahasa Yunaninya di sebut “hedonisme”.[2]
Etika hedonisme dalam buku – buku etika masuk
dalam telologis (dari kata Yunani telos yang artinya tujuan, dan logos
yang artinya kata atau fikiran), terarah pada tujuan. Etika hedonisme, biasanya
dimasukkan kekelompok teori – teori egoisme etis, karena mengusahakan
kebahagiaan bagi orang yang bertindak itu sendiri (individualistik). Karena
berbicara tentang tindakan baik dan buruk, etika hedonisme juga masuk
dalam teori etika normative.[3]
Kala itu, Hedonisme masih mempunyai arti positif,
karena dalam perkembangannya, paham ini hanya mencari kebahagiaan yang berefek
panjang tanpa disertai penderitaan.[4] Dan
secara negatif, paham ini terungkap ketika dalam sikap menghindari rasa sakit.[5]
Hedonisme menurut Pospoprodijo, mengungkapkan bahwa kesenangan (kenikmatan)
adalah tujuan akhir hidup dan yang baik adalah yang tertinggi. Sedangkan menurut
Aristoteles dalam kitab karangannya “Russell” (2004:243), yaitu
yang berbunyi “kenikmatan berbeda dengan kebahagiaan, sebab tak mungkin ada
kebahagiaan tanpa kenikmatan. Ada tiga pandangan tentang kenikmatan : (1) bahwa
semua kenikmatan tidak baik; (2) bahwa beberapa kenikmatan baik, namun sebagian
besar buruk; (3) bahwa kenikmatan baik, namun bukan yang terbaik”.[6]
Paham ini kemudian menyebar luas dikalangan masyarakat
kala itu, dan nampak sebagai sesuatu taraf kehidupan yang wajar dilakukan.
Dalam perkembangannya akhirnya muncul dalam keadaan sebuah teori etika. Paham
ini tampil secara sangat mencolok ketika saat zaman kuno, yaitu Aristippus,
pendiri mazhab Cyrene (lebih kurang 400 SM), dan juga pada Epicurus (341
– 271 SM), tetapi juga dalam zaman yang lebih baru, yaitu pada apa yang
dinamakan para penganut paham Utilisme yang nanti akan di bahas secara
tersendiri.[7]
Paham aliran Hedonisme diajarkan secara terang –
terangan, bahkan diajarkan secara tidak tanggung – tanggung, namun juga sering
diajarkan secara terselubung, sehingga hampir – hampir tidak dapat dikenal.
Ketika paham aliran ini diajarkan mengenai sifatnya, dan yang paling jelas
ialah ketika menyingkapkan sifatnya, bahwa kenikmatan itu sendiri adalah
berharga, sehingga dalam hal ini yang dicari bukan sifat kenikmatannya,
melainkan semata – mata jumlah kenikmatannya.[8]
Setelah menyadari hal tersebut, maka paham ini
mengajarkan bahwa orang harus bersikap bijak dalam menikmati sesuatu, yaitu
pertama – tama orang harus mulai dengan mengendalikan hasratnya. Aristippus
sendiri mengajarkan : “kenikmatan ada ditanganku, bukan aku yang ada
ditangan kenikmatan”.[9]
Dari ajaran Aristippus ini, dapat kita simpulkan
bahwasanya, janganlah kita terpaku kepada satu peristiwa saja, akan tetapi
fahamilah itu secara menyeluruh, karena yang paling utama ialah hasil terakhir
dari suatu kenikmatan. Oleh karena itu, dia mengajarkan pahamnya untuk bisa
menahan rasa sakit sebentar yang pada akhirnya dapat merasakan rasa nikmat yang
lebih besar.
Akan tetapi dalam contoh kehidupan sehari – hari, manusia
selalu menghindari rasa sakit, penderitaan, serta hal – hal yang menyakitkan
lainnya. Dan sebaliknya mengejar apa saja yang dapat menimbulkan kesenangan
atau kenikmatan. Seseorang dikatakan baik bila perilakunya dibiarkan dan
ditentukan oleh suatu pertanyaan, yaitu bagaimana caranya agar dirinya
memperoleh kenikmatan yang sebesar – besarnya, dengan besikap seperti itu ia
bukan hanya hidup sesuai dengan kodratnya, melainkan juga memenuhi tujuan
hidupnya.
Dalam hal ini, “virus hedon” tidak hanya menyerang
orang dewasa yang sudah bekerja, bahkan anak – anak sampai orang tuapun juga
terjangkit “virus” ini.[10] Anak
akan mempunyai kecenderungan Hedonistis, karena akibat kodrat biologis
dan belum jalannya daya penalaran, anak harus bergantung kepada orang tua atau
kepada orang lain. Bersama dengan berjalannya waktu dan proses sosialisasi, ia
akan mulai punya kesadaran dan kemampuan menentukan pilihan. Kemudian setelah
ia beranjak dewasa, ia akan sangat antusias terhadap adanya hal baru.
Karena gaya hidup hedonis daya pikatnya sangat
menarik bagi mereka, sehingga dalam waktu singkat muncullah fenomena baru
akibat paham ini. Fenomena yang muncul, ada kecenderungan untuk lebih memilih
hidup enak, mewah, dan serba kecukupan tanpa harus bekerja keras. Tidaklah
mengherankan, bisa dikatakan jika saat ini muncul fenomena baru yang muncul di
kehidupan kampus. Semisal adanya “ayam kampus” (suatu pelacuran
terselubung yang dilakukan oleh beberapa oknum mahasiswi), karena profesi ini
dianggap paling enak dan gampang menghasilkan uang untuk memenuhi syarat remaja
gaul dan funky.
Oleh karena itu, tidak dapat kita pungkiri bahwa dalam
kehidupan hedonisme terkandung kebenaran yang mendalam, yaitu menurut
kodratnya mencari kenikmatan dan berupaya agar terhindar dari hal – hal yang
menyakitkan. Karena sejak kecil manusia pasti menginginkan kesenangan hidup.
Tapi dari pemaparan diatas, setiap paham pasti mempunyai
masalah – masalah yang timbul. Misal, seperti pandangan ini akan menyinggung
perasaan seseorang yang sangat peka di bidang kesusilaan. Manusia seakan – akan
menjadikan binatang sebagai idaman hatinya, dan dalam hal ini binatang
peliharaan yang teramat baik.[11]
Kehidupan seperti ini, dapat menimbulkan iri hati pada
manusia yang sarat dengan masalah – masalah yang disadarinya secara berlebihan
yang senantiasa terombang – ambing kian kemari antara harapan dengan ketakutan,
yang terus menerus dikejar – kejar didalam perjuangan untuk memperoleh
kehidupan yang lebih baik.
Disamping keberatan – keberatan praktik dapat juga
diajukan keberatan – keberatan psikologik terhadap hedonisme. Tidaklah
benar bahwa menurut kodratnya manusia mengusahakan kenikmatan, yang ia usahakan
ialah hal – hal yang dapat menimbulkan kenikmatan, seperti juga kebalikannya,
bukannya ia menyingkiri rasa sakit, melainkan menyingkiri sesuatu yang dapat
menimbulkan rasa sakit.[12]
B. Perkembangan Paham Eudomonisme dan Permasalahan.
Setelah kemunculan paham hedonisme,
muncullah paham baru, yang tak lain ialah paham “eudomonisme”. Kata eudomonisme
ini berasal dari bahasa Yunani (eudaimonia) yang secara harfiah berarti
: “mempunyai roh pengawal (demon) yang baik, maksudnya mujur dan
beruntung”.[13]
Dengan demikian yang pertama – tama, hanya menitik beratkan lagi kedalam
keadaan batiniyah, dan yang demikian merujuk pada kata “bahagia”.
Seringkali kita mencari suatu tujuan untuk
mencapai suatu tujuan lain lagi. Misalnya, ketika sedang sakit kita minum obat
untuk bisa tidur dan kita tidur untuk memulihkan kesehatan. Timbullah
pertanyaan, apakah ada juga tujuan yang dikejar karena dirinya sendiri dan
bukan karena sesuatu yang lain lagi, apakah ada kebaikan terakhir yang tidak
dicari demi sesuatu yang lain lagi, apakah ada kebaikan terakhir yang tidak
dicari demi sesuatu yang lain lagi. Menurut Aristoteles, semua orang akan
menyetujui bahwa tujuan tertinggi ini dalam terminologi modern kita bisa
mengatakan : “makna terakhir hidup manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia)”.[14]
Orang yang telah mencapai tingkatan “eudemonia”
mempunyai keinsyafan akan kepuasan yang sempurna tidak hanya secara jasmani,
melainkan juga secara rohani.[15] Seperti
halnya hedonisme, sesungguhnya eudomonisme hendak bertolak dari
pengalaman, dan berpendapat bahwa menurut kodratnya manusia mengusahakan
kebahagiaan, serta memandang hal tersebut adalah suatu hal yang baik. Dengan
demikian paham ini menyatakan kebahagiaan sebagai kebaikan tertinggi.[16]
Eudemonisme merupakan salah satu diantara sistem – sistem
etika yang paling tersebar luas. Aristoteles tegas – tegas menetapkan
kebahagiaan sebagai tujuan perbuatan manusia. Paham ini dapat mengambil
berbagai bentuk, demikian ada juga eudomonisme keagamaan, yang
mengajarkan agar manusia mempersatukan diri dengan Tuhan demi kebahagiaan
tersebut. Secara bersahaja hal ini terungkap dalam syair pendek guratan pena
Van Alphen, yang berbunyi :
Aku seorang putra
Oleh Tuhan dicinta
Dan diciptakan ‘tuk bahagia
Paham ini mempunyai keyakinan, bahwasanya
manusia hidup didunia ini untuk bahagia. Dan dalam kenyataannya, paham ini
dianut oleh banyak sekali orang.[17] Menurut
Aristoteles, semua orang akan menyetujui bahwa tujuan tertinggi ini dalam
terminologi modern kita bisa mengatakan kembali seperti pemaparan di atas : “makna
terakhir hidup manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia)”.[18]
Ada yang mengatakan, bahwa kesenangan adalah
kebahagiaan, ada yang berpendapat, bahwa uang dan kekayaan adalah inti
kebahagiaan dan ada pula yang menganggap status sosial atau nama baik sebagai
kebahagiaan. Akan tetapi, ada juga yang mengatakan bahwa kita akan merasa
bahagia walaupun tidak memiliki harta yang banyak, walaupun kondisi diluar
tidak sesuai dengan keinginan kita. Semua itu tidak akan mengganggu, karena
kita tidak menempatkan kebahagiaan disana. Karena kebahagiaan yang hakiki
terletak didalam diri kita sendiri. Inti kebahagiaan ada pada pikiran kita.
Ubahlah cara kita berpikir dan kita akan segera mendapatkan kebahagiaan dan
ketentraman batin.
Dalam hal ini, barang siapa yang menjadikan
kebahagiaan sebagai tujuan hidupnya, maka seperti halnya kaum hedonis,
yaitu menjadikan dirinya tergantung pada keadaan, yang hanya sebagian kecil
yang dapat dikuasainya.[19]
Disamping itu, ada beberapa kenyataan bahwa mereka yang mencari kebahagiaan
justru tidak menemukannya.
Selanjutnya ada hal yang menarik, bahwasanya
manusia acap kali tidak hanya mengusahakan kebahagiaan, melainkan jelas – jelas
mengusahakan tujuan – tujuan yang sama sekali berlainan, bahkan dengan
menderita nestapa. Tetapi juga tidak jarang terjadi, nestapa itu diterimanya
sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup yang sebenarnya.
Paham eudomonisme melupakan bahwa moral
mengabaikan adanya hubungan dengan sesama manusia. Paham ini hanya mengenal
orang – seorang, dalam hal ini akunya sendiri, dan dengan demikian paling –
paling mengenal wajib – wajib terhadap diri sendiri dan dalam kenyataannya
lazimnya sesuai dengan egoisme.[20]
C. Kemunculan Paham Stoisisme dan Permasalahannya.
Salah satu bentuk tertentu dari adanya eudomonisme
ialah stoisisme dan juga di anut oleh kaum Stoa.[21] Aliran
ini didirikan di Athena oleh Zeno dari Kition (133 – 266 SM).[22] Dalam
sikap paham ini, sekali lagi juga merujuk pada kebahagiaan. Tulisan yang
terkenal dari kaum Stoa adalah “De Vita Beata” (Mengenai Hidup
Dalam Kebahagiaan Surgawi), karya Seneca.[23]
Dr. H. De Vos, dalam buku karangannya yang berjudul “Pengantar
Etika” menyimpulkan, “berarti bahwa manusia harus menemukan
kebahagiaan serta kedamaian dalam dirinya sendiri. Hal ini hanya dapat terjadi
jika ia dalam menghadapi diri sendiri menggunakan akalnya serta menguasai
perasaannya sepenuhnya. Pada dasarnya peristiwa – peristiwa lahiriah
menimbulkan berbagai perasaan pada diri kita, seperti perasaan takut, sengsara,
prihatin, namun juga perasaan gembira dan nikmat. Barang siapa hidup dengan
mendasarkan diri pada perasaan, berarti menggantungkan diri pada keadaan –
keadaan yang tidak dikuasainya. Berhubungan dengan itu idaman mencukupi diri
sendiri atau autarkia hanya dapat dicapai, bila manusia sepenuhnya menguasai
perasaannya dan berhasil menindasnya, dengan menggunakan akal sebagai sarananya”.[24]
Seperti dengan kaum Epikurus, kaum Stoa membagi filsafat
dalam tiga bagian, yaitu Logika, Fisika, dan Etika. Logika dan Fisika umumnya
dipergunakan sebagai dasar etiknya. Etiknya ialah memberi petunjuk tentang
sikap sopan santun dalam penghidupan. Menurut pendapat mereka, tujuan yang
terutama dari segala filsafat ialah menyempurnakan moral manusia. Berikut
sedikit pemaparan tentang pembagian filsafat menurut kaum Stoa, ialah sebagai
berikut :
1.
Logika.
Logika menurut kaum Stoa, maksudnya memperoleh kriterium tentang kebenaran.
Dalam hal ini mereka mempergunakan juga teori reproduksi dari Demokritus.
2.
Fisika.
Dalam aliran Stoa, masalah fisika tidak saja memberi pelajaran tentang
alam, tetapi meliputi juga teologi. Menurut mereka bahwa alam mempunyai dua
dasar yaitu yang bekerja dan yang dikerjakan. Yang bekerja ialah Tuhan dan yang
dikerjakan ialah materi (makhluk-Nya).
3.
Etik / Etika.
Etik / Etika menurut kaum Stoa adalah untuk mencari dasar – dasar umum
untuk bertindak dan hidup yang tepat. Kemudian melaksanakan dasar – dasar itu
dalam penghidupan. Kaum Stoa berpendapat, bahwa tujuan hidup yang tertinggi
ialah memperoleh harta yang terbesar nilainya, yaitu kesenangan hidup.
Kemerdekaan moril seseorang adalah dasar segala etik pada kaum Stoa.
Kemudian setelah ditelaah kembali, paham Stoisisme
merupakan bahaya yang dapat meniadakan kepribadian, yang justru hendak
dikukuhkannya. Karena mengajarkan agar manusia bersikap pasrah. Sikap pasrah
lebih berbahaya dibanding sikap membangkang, karena dalam hal terakhir ini
manusia dengan sendirinya dapat menyadari batas – batas kemampuannya, tetapi
terutama karena manusia merupakan makhluk yang secara azasi mengatakan “tidak”
terhadap kehidupan dan ingin mengubahnya.[25]
Paham ini juga menyebabkan orang mudah menjadi congkak,
manusia bijaksana membentuk dirinya sendiri, terlepas dari nasib serta sesama
manusia. Dengan demikian ia menyamakan dirimya dengan Tuhan.
D. Paham Utilisme Terhadap Kebijakan Publik dan Permasalahannya.
Utilisme dijabarkan dari bahasa Latin “utilis”, yang
berarti bermanfa’at. Utilisme dikembangkan oleh Jeremy Bentham (1784 -
1832). Dalam ajarannya utilisme itu pada intinya adalah “bagaimana
menilai baik atau buruknya kebijaksanaan sospol, ekonomi dan legal secara
moral”, yaitu bagaimana menilai kebijakan public yang memberikan dampak baik
bagi sebanyak mungkin orang secara moral.[26]
Kaum ini mengatakan bahwa segala sesuatu perbuatan
dikatakan baik apabila membawa kemanfaatan, sedangkan dikatakan buruk apabila
membawa suatu kemudharatan. Utilisme tampil sebagai sistem etika yang
telah berkembang hingga dapat dirasakan sampai saat ini, bahkan juga sebagai
pendirian yang agak bersahaja mengenai hidup.
Paham utilisme dapat kita katakan dalam tiga
bentuk, yaitu sebagai berikut :
1.
Ukuran baik tidaknya suatu tindakan dilihat
dari akibat, konsekuensi, atau tujuan dari tindakan itu, apakah memberi manfaat
atau tidak.
2.
Dalam mengukur akibat dari suatu tindakan,
satu – satunya parameter yang penting adalah jumlah kebahagiaan atau jumlah
ketidak bahagiaan.
3.
Kesejahteraan setiap orang sama pentingnya.[27]
Manfaat merupakan sebuah konsep yang begitu luas sehingga
dalam kenyataan malah menimbulkan kesulitan yang tidak sedikit. Karena, manfaat
bagi manusia berbeda antara satu orang dengan orang yang lainnya. Sebuah
tindakan bisnis bisa sangat menguntungkan dan bermanfaat bagi sekelompok orang,
tetapi bisa sangat merugikan bagi kelompok lain.
Bersifat bermanfaat bergema dikalangan manusia yang dalam
suatu dunia, yang didalamnya kerja sangat dihargai, dan kerja selalu berarti
pemakaian sarana – sarana dan senantiasa membawa serta manusia sebagai sarana,
untuk mendapatkan manfaat yang besar dikemudian hari nanti.
Dari dua paham terakhir diatas, yaitu eudemonisme
dan stoisisme, paham utilisme ini mendapatkan nama dan pandangan
yang lebih baik di masyarakat, karena juga sangat mengesankan dan juga karena
bentuk sosialnya yang melihat dari sudut pandang kepentingan orang banyak.
Paham ini mengusahakan, agar setiap perbuatan akan
mendatangkan kebahagiaan dari pada penderitaan, manfaat dari pada kesia –
siaan, keuntungan dari pada kerugian, bagi sebagian besar orang. Dengan
demikian, perbuatan manusia baik secara etis dan membawa dampak sebaik –
baiknya bagi diri sendiri dan orang lain.[28]
Adapun kritik dari paham utilisme ini, yaitu di
ambil dari pembahasan di atas :
1.
Utilisme hanya menekankan tujuan atau manfaat pada pencapaian
kebahagiaan duniawi dan mengabaikan aspek rohani.
2.
Utilisme mengorbankan prinsip keadilan dan hak individu
atau minoritas demi keuntungan mayoritas orang banyak.[29]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Hedonisme atau yang lebih dikenal dengan sebutan kaum
hedon merupakan salah satu paham etika aliran filsafat dari Yunani. aliran ini
berawal dari paham atau sebuah pendirian manusia, yaitu menurut kodratnya
manusia mengusahakan kenikmatan atau kesenangan. Hal ini masih dapat kita
rasakan sampai masa sekarang. Misalnya, akibat kodrat biologis dan belum
jalannya daya penalaran, anak harus bergantung kepada orang tua atau kepada
orang lain. Bersama dengan berjalannya waktu dan proses sosialisasi, ia akan
mulai punya kesadaran dan kemampuan menentukan pilihan. Kemudian setelah ia
beranjak dewasa, ia akan sangat antusias terhadap adanya hal baru. Oleh karena
itu, tidak dapat kita pungkiri bahwa dalam kehidupan hedonisme terkandung
kebenaran yang mendalam, yaitu manusia menurut kodratnya mencari kenikmatan dan
berupaya agar terhindar dari hal – hal yang menyakitkan. Karena sejak kecil
manusia pasti menginginkan kesenangan hidup.
Setelah kemunculan hedonisme, muncullah paham baru, yang
tak lain ialah eudomonisme. Eudomonisme berasal dari bahasa Yunani eudaimonia
yang secara harfiah berarti mempunyai roh pengawal yang baik, maksudnya mujur
dan beruntung. Paham ini mempunyai keyakinan, bahwasanya manusia hidup didunia
ini untuk bahagia. Dan dalam kenyataannya, paham ini dianut oleh banyak sekali
orang.
Paham yang satu ini adalah salah satu bentuk dari adanya
paham eudomonisme. Yaitu paham stoisisme dan juga dianut oleh kaum Stoa.
Didirikan di Athena oleh Zeno dari Kition. Sekali lagi paham ini juga merujuk
pada kebahagiaan. Yang dalam ini dapat di simpulkan pula bahwa, manusia harus
menemukan kebahagiaan serta kedamaian dalam dirinya sendiri. Yaitu dengan
menggunakan akalnya serta menguasai perasaannya sepenuhnya. Bila manusia
sepenuhnya menguasai perasaannya dan berhasil menindasnya, dengan kata lain yaitu
menggunakan akal sebagai sarananya.
Paham yang terakhir ialah paham utilisme, yang dijabarkan
dari bahasa latin utilis, berarti bermanfaat. Kaum ini mengatakan bahwa segala
sesuatu perbuatan dikatakan buruk apabila membawa kemanfaatan, sedangkan
dikatakan buruk apabila membawa suatu kemudharatan. Jadi, paham ini mengajarkan
bahwa setiap manusia mempersepsikan kemanfaatan dengan menggunakan perasaannya.
Yaitu baik bisa dikatakan baik dan bermanfaat, buruk bisa dikatakan baik dan
bermanfaat atau sebaliknya.
DAFTAR
PUSTAKA
Vos, H. De. 1987. Pengantar Etika. Yogyakarta:
PT Tiara Wacana Yogya.
Suseno, Franz Magnis. 1997. Etka Dasar : Masalah –
Masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanius.
http://purplenitadyah.wordpress.com/2012/05/05/hedonisme/html. diakses pada tanggal 25 September 2014, pukul 09.40 WIB.
http://cahayaibnuadam.blogspot.com/2012/02/filsafat-umum-hellenistis-stoisisme.html. diakses pada tanggal 25 September 2014,
pukul 10.00 WIB.
http://softskill16.blogspot.com/2013/11/teori-etika-utilitarianisme.html. diakses pada tanggal 25 September 2014,
pukul 10.15 WIB.
[1]H. De Vos, Pengantar Etika, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1987), hlm. 161.
[3]Franz Magnis Suseno, Etika Dasar: Masalah –
Masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 113.
[4]http://purplenitadyah.wordpress.com/2012/05/05/hedonisme/html., diakses pada tanggal 25 September 2014,
pukul 09.40 WIB
[5]H. De Vos, Pengantar Etika... hlm. 161.
[6]http://purplenitadyah.wordpress.com/2012/05/05/hedonisme/html., diakses pada tanggal 25 September 2014,
pukul 09.40 WIB
[7]H. De Vos, Pengantar Etika... hlm. 161.
[10]http://purplenitadyah.wordpress.com/2012/05/05/hedonisme/html., diakses pada tanggal 25 September 2014,
pukul 09.40 WIB
[11]H. De Vos, Pengantar Etika...hlm. 163.
[14]http://rudizr.wordpress.com/2012/05/20/eudomonisme/, diakses pada tanggal 25 September 2014,
pukul 09.55 WIB.
[15]H. De Vos, Pengantar Etika...hlm. 168.
[18]http://rudizr.wordpress.com/2012/05/20/eudomonisme/, diakses pada tanggal 25 September 2014,
pukul 09.55 WIB.
[19]H. De Vos, Pengantar Etika...hlm. 170.
[20]H. De Vos, Pengantar Etika... hlm. 173.
[22]http://cahayaibnadam.blogspot.com/2012/02/filsafat-umum-hellenistis-stoisisme.html, diakses pada tanggal 25 September 2014,
pukul 10.00 WIB
[23]H. De Vos, Pengantar Etika... hlm. 177.
[24]H. De Vos, Pengantar Etika... hlm. 177
– 178.
[25]H. De Vos, Pengantar Etika... hlm. 179.
[26]http://softskill16.blogspot.com/2013/11/teori-etika-utilitarianisme.html, diakses pada tanggal 25 September 2014,
pukul 10.15 WIB.
[28]http://softskill16.blogspot.com/2013/11/teori-etika-utilitarianisme.html, diakses pada tanggal 25 September 2014,
pukul 10.15 WIB.
[29]http://cahayaibnadam.blogspot.com/2012/02/filsafat-umum-hellenistis-stoisisme.html, diakses pada tanggal 25 September 2014,
pukul 10.00 WIB